Proses pembangunan Masjid Darussalam tidak terlepas dari peran besar komunitas perantau Banjar yang mayoritas bekerja sebagai pedagang batu permata dan berlian. Kesuksesan mereka di perantauan mendorong semangat gotong royong untuk membangun sebuah tempat ibadah yang lebih layak bagi warga di sekitar Jayengan.
Saat ini selain masjid, Yayasan Masjid Darussalam juga telah mengembangkan lembaga pendidikan dengan mendirikan TK, SD, dan SMP sebagai upaya mencerdaskan generasi muda dan memperkuat nilai-nilai keislaman sejak dini.
Kini, Masjid Darussalam bukan hanya tempat beribadah, namun juga menjadi simbol akulturasi budaya dan sejarah panjang perantau Banjar di Solo. Keberadaannya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga sekitar dan terus menjaga tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Tradisi Berbagi Bubur Samin di Masjid Darussalam
Setiap Ramadhan menjelang Ashar, Masjid Darussalam selalu dipadati warga yang mengantri untuk merasakan bubur Samin. Tak hanya masyarakat sekitar, bahkan ada yang datang dari luar kota seperti Yogyakarta, Sukoharjo, Sragen, Klaten dan Karanganyar yang penasaran dengan tradisi unik ini. Mereka rela datang jauh-jauh demi mencicipi kelezatan bubur khas Banjar yang hanya tersedia setahun sekali selama bulan Ramadan.
Tradisi memasak Bubur Samin sudah berlangsung setiap ramadhan selama puluhan tahun. Para sukarelawan dan pengurus masjid bergotong-royong memasak bubur ini dalam jumlah besar untuk dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Pembuatan bubur Samin sudah dimulai sejak pagi jam 08.00. Diawali dengan meracik bahan-bahan dan bumbu yang terdiri dari daging sapi, santan, rempah-rempah (kapulaga, jintan, adas kayumanis, cengkeh, ketumbar), bawang Bombay, santan, daun bawang, seledri, wortel dan minyak samin yang memberi aroma khas pada bubur.