Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Mamak-mamak nan Awam Mesti "Ngajarin Bocah" Bahasa Dewa

14 Desember 2020   10:05 Diperbarui: 14 Desember 2020   16:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via cewekbanget.grid.id

Sama seperti anak-anak milenial lainnya, anak-anak saya juga mendapatkan pelajaran Bahasa Mandarin di sekolah mereka. Konon, bahasa ini menjadi bahasa internasional kedua terpenting setelah Bahasa Inggris. Lebih banyak mata pencaharian dan lowongan kerja di masa depan, bila kita menguasai bahasa ini. Tentu saja, kita manggut-manggut mengaminkan.

Namun, sungguh ironis. Bila Bahasa Inggris sudah sering kita temui di televisi dalam bentuk iklan, film, lagu dan sebagainya, nah, bahasa Mandarin yang bahkan saat era Pak Harto "belum dapat" kita pelajari di bangku sekolah, kini menjadi momok virtual bagi mamak-mamak seperti saya, yang bahkan belum bisa membedakan lafal dan penyebutan, apalagi yang berbeda arti bila berbeda bunyi.

Jadi, bila anak bertanya, "Ma, ini betul nggak ?" Saya suruh Google Translate saja.

Di era pandemi Covid-19 ini, di mana semua pelajaran hanya mengandalkan online atau daring, belajar bahasa lain yang benar-benar asing menjadi sebuah tantangan sekaligus kendala tersendiri. Apalagi saat guru terkesan hanya menyerahkan sepenuhnya ke tangan orangtua yang sebenarnya buta sama sekali terhadap aksara yang membingungkan semacam ini. Hanzi, nada, pinyin, dan radikal adalah istilah-istilah baru yang kita harus hafal satu persatu. Nada saja ada 4 macam; rata, naik, melengkung, dan turun, dimana beda nada = beda arti.

Kebanyakan guru sayangnya menganggap kita sudah bisa "dari sananya", alias bukan orang awam, sehingga dirasa cukup dengan mendengar audio atau membaca catatan dan menonton video. Sayangnya, bagi kita yang sudah "terlanjur berumur" sangat sulit untuk menyerap bahasa baru yang masih sangat asing di telinga dan mata kita.

Barangkali bisa menjadi sebuah masukan bagi guru-guru bahasa asing apapun di mana saja berada, alangkah baiknya bila pelajaran Anda disertai dengan materi yang menarik seperti ada animasinya, ada konten interaktif bila Anda bisa, serta ada terjemahan dan kunci jawaban untuk setiap soal ulangan maupun pekerjaan rumah. Hal itu akan sangat membantu kami mamak-mamak yang sehari-hari sudah bergulat dengan bawang di dapur maupun nguli di kantor.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun