Aku duduk di bangku kayu yang usang, merenungkan tiga entitas yang membentuk seluruh narasi kehidupanku: Masa Lalu, Masa Depan, dan Masa Sekarang. Tiga nama, namun hanya satu yang nyata. Seringkali, batin yang merenung ini terasa seperti medan perang. Bukan pertempuran melawan dunia luar, melainkan perang memperebutkan kedaulatan di dalam diri. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa arti hidup? Apakah eksistensi hanya sebatas gerak dan kehadiran? Jika ya, lalu dimanakah aku bergerak dan ada? Apakah di arsip kenangan, janji masa depan, ataukah di momen yang sedang berlangsung? Semua pertanyaan ini membawaku pada dilema eksistensial.
Masa Lalu: Arsip Memori dan penguasa yang Sudah Mati
Ia telah berhenti menjadi kehidupan; ia kini adalah Arsip yang tersimpan dalam relung kesadaran. Aku sering merasa seperti seorang arkeolog, menggali reruntuhan kisah-kisah lama, mencari identitas dari pecahan-pecahan kenangan. Di sana ada penyesalan yang membisikkan “seandainya,” dan ada nostalgia manis yang menipu dengan janji kehangatan yang sudah pudar.
Secara filosofis, Masa Lalu adalah penguasa yang Sudah Mati. Ia tidak bisa bertindak. Ia tidak bisa berubah. Nilainya hanyalah sebagai pembelajaran. Namun, betapa mudahnya aku membiarkan bayangan Masa Lalu menjadi penjara, rantai yang membelenggu kreativitas di hari ini. Keterikatan pada Masa Lalu adalah bentuk pengkhianatan terhadap potensi diri saat ini, sebab ia mengalihkan energi yang seharusnya digunakan untuk membangun realitas. Segala kesalahan dan kemenangan di masa lampau hanyalah tinta di buku yang sudah tertutup. Aku harus berhenti mengidentifikasi diriku dengan narasi yang telah usai.
Aku harus meyakinkan diriku: “Aku bukanlah apa yang telah terjadi padaku, melainkan apa yang kupilih untuk kulakukan saat ini.”
Masa Depan: Peta Proyeksi dan Ilusi Janji
Namun, untuk melepaskan belenggu arsip tersebut, kesadaran harus mengalihkan fokus dari cermin masa lalu menuju cakrawala yang belum pasti. Masa Depan adalah Peta yang Belum Tergambar. Ia adalah kanvas kosong yang dipenuhi proyeksi, harapan, dan, yang paling sering, kecemasan. Aku merencanakan, menetapkan target, dan terkadang, mengorbankan ketenangan Saat Ini demi janji kenyamanan di waktu yang belum tentu tiba. Masa Depan adalah Janji yang Terus Diundur. Ia mendorongku, tetapi sekaligus merampas ketenanganku. Ia adalah ilusi yang begitu meyakinkan sehingga aku rela mengubah diriku menjadi alat untuk mencapai tujuan yang selalu berada di luar jangkauan Sekarang. Kecemasan adalah harga sewa yang dibayar oleh Masa Kini untuk tinggal di wilayah probabilitas. Aku lupa bahwa hari esok yang aku khawatirkan adalah produk sampingan dari kualitas tindakanku hari ini. Dengan menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan, aku justru kehilangan jalan, yaitu jalan yang hanya terbentang di hadapanku saat ini.
Aku harus menyadari: “Masa Depan hanyalah kemungkinan. Ia tidak memiliki substansi sebelum ia diwujudkan. Kekuatan untuk mewujudkan itu tidak ada di sana, melainkan di sini.”