Mohon tunggu...
Rancha Belnevan
Rancha Belnevan Mohon Tunggu... -

bagaikan air yang dapat bergolak layaknya ombak di pantai selatan, dan dapat tenang seperti genangan di dulang.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada DKI dan Kegagapan Gerakan Kiri yang Salah Sasaran

23 April 2017   00:04 Diperbarui: 23 April 2017   09:00 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sudah tiga hari hasil Quick Count Pilkada DKI memenangkan pasangan Anies-Sandi dan saya belum bisa move on. Mungkin butuh waktu lima hari, satu minggu, tapi mumpung belum move on, bolehlah saya misuh-misuh sedikit.

Disclaimer:

Secara personal, saya bukan anti-Ahok. Dua tahun belakangan saya justru ikut berorganisir (organize and resist, ceunah) dalam pemenangan Ahok, mulai dari pencalonan independen hingga kalah di putaran kedua. Tapi bukan berarti saya fanatik buta hingga kehilangan objektivitas saya seperti yang pernah dituduhkan. Disini saya juga bukan ingin misuh mengenai kekalahan Ahok, tapi lebih kepada kritik bersahabat (daripada sekedar nyinyir) untuk teman-teman yang berada di barisan, katakanlah progresif, kalau sungkan berlabeli “kiri”.

Karena saya bukan orang yang cakap menulis dalam kata-kata hebat, saya buat kritik saya dalam bentuk poin-poin agar mudah dicerna, persis artikel “tips-tips menghadapi si dia” yang sering viral di Facebook. Kritik saya-pun bukan berdasarkan pengalaman pribadi berkecimpung langsung dalam gerakan kiri. Melainkan dari sudut pandang medioker kontrev yang suka iseng-iseng membaca buah pikir kamerad sejagad sosmed. Jadi tulisan ini sangat terbuka untuk dikritik balik, asal janganlah terlalu galak.

  • Kegagapan  tidak berujung tentang politik alternatif.

Saya mengutuk orang sok tahu yang bilang bikin partai dan menanamkan nilai-nilai itu gampang, kecuali dia seorang Harry Tanoe yang bisa mencuci otak balita dengan Mars Perindo tiap 10 menit di stasiun TV. Apalagi mau bikin partai pekerja, dengan basis buruh, tani, nelayan, dan miskin kota. Pasti sulit mengorganisir secara disiplin, apalagi dengan bayaran “kepuasan batin” bagi anggota yang kadang juga butuh asupan material.

Sungguh, saya-pun menanti partai politik alternatif ini menyuguhkan sesuatu. Saya tidak begitu paham dinamika yang terjadi di internal, tapi sejujurnya belum ada satupun teman-teman kelas menengah saya yang tahu makhluk macam apa itu politik alternatif. Jangankan disuruh berimajinasi soal masyarakat tanpa kelas. Dosakah mereka atas ketidak-tahuan itu? Kok saya rasa tidak. Saya tidak mau seenaknya sih menuduh orang lain malas belajar dan kurang baca buku.

Dari artikel-artikel yang saya baca mengenai respon aktivis progresif terhadap Pilkada DKI, jelas semua anti-Ahok (tapi anehnya tidak ada yang anti-Anies). Toh tidak pernah secara eksplisit juga mendukung Anies. Wacananya kurang lebih : ini momentum kita untuk membangun basis politik alternatif!

Dari dulu. Bahkan dari September 2015 sudah berwacana mengajukan calon independen sambil mencibir gerakan pengumpulan satu juta KTP untuk Ahok. Tapi sampai Ahok kalah Pilkada, saya tidak pernah mendengar lagi garangnya wacana politik alternatif.

  • Kegagapan membaca situasi dan prioritas

Ahok tukang gusur. Betul. Tidak perlu diperhalus dengan kata-kata “relokasi”. Jelas ini jadi buah simalakama karena basis miskin kota banyak dirugikan dari kebijakan Ahok. Mengambil posisi “anti-Ahok” tanpa mendeklarasi “pro-Anies” mungkin dirasa jadi pilihan paling bijak dan kritis.

Tapi sayangnya, simpul massa yang bingung ini dengan mudah diraup oleh kubu Anies yang menawarkan iming-iming rumah DP 0% hingga program tata kota yang menggeser, bukan menggusur. Belum lagi jaminan surga dari juru kuncinya yang lantang sekali menggugat Ahok. Memang, mau Ahok atau Anies yang menang, warga miskin kota perlu terus melawan, sekurang-kurangnya untuk meminimalisir efek ketertindasan.

Anies menyediakan anastesi untuk rasa sakit akibat ketertindasan tersebut: agama. Tapi sebagaimana obat anastesi, jika dosisnya berlebihan justru bisa berakibat kelumpuhan bahkan kematian. Ini agaknya yang luput dari strategi “anti-Ahok tapi tidak juga pro-Anies”. Sementara wacana digulirkan bukan pada tuntutan agar Ahok meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi dampak negatif penggusuran, tapi lebih pada wacana menolak Ahok.

Asumsi saya, wacana anti-Ahok ini tentu tidak sepenuhnya dipahami secara sama antara elit organisasi dengan basisnya, mengingat identitas “double minority” Ahok yang sangat mudah digulirkan ke isu SARA. Nah ini jadi momen yang pas bagi Anies menyuntikkan anastesi surgawi melalui basis massa religius yang mungkin juga beririsan dengan basis massa buruh dan miskin kota. Tidak peduli tawaran program nir-logis Anies yang  jelas jauh kualitasnya dibawah tawaran program Ahok secara keseluruhan. Pokoknya masuk surga dan pribumi tidak ditindas cina.

Kemudian dari langit, Karl Marx bersabda, “agama adalah candu masyarakat”.

Sepeninggal Ahok, saya penasaran bagaimana lagi strategi perlawanan yang lebih manjur daripada anastesi janji surga yang segera akan jadi candu di masyarakat.

  • Kegagapan jargonistik

Artikel-artikel jargonistik yang menyebut rezim Ahok ditopang oleh kapitalis developer juga sering membuat saya bingung. Karena setahu saya, pembangunan infrastruktur yang bukan untuk keperluan publik (seperti mall dan apartemen) justru jauh berkurang di era Ahok. Walaupun memang, menggusur mall dan apartemen yang sudah kadung dibangun diatas tanah serapan air sejak dulu, tidak semudah menggusur perkampungan pinggir Ciliwung. Tapi semua jargon dalam artikel maupun seruan dan pernyataan sikap yang saya baca, selalu menjurus pada sentimen penolakan terhadap Ahok. Singkatnya, anti-Ahok.

Saya seringkali tidak mengerti, saat APBD era Ahok justru lebih banyak digunakan untuk bantuan sosial, subsidi pendidikan, transportasi massa, setahu saya persis seperti poin-poin yang seringkali jadi tuntutan teman-teman progresif. Tapi wacana yang dibangun tetap “anti-Ahok”. Indeks Gini DKI Jakarta juga menurun di era Ahok, dari 0.43 jadi 0.41. Tetap lebih tinggi dari ketimpangan nasional, tapi menurun, dan sayangnya tetap “anti-Ahok”. Volume dan durasi banjir berkurang, kepuasan warga DKI terhadap kinerja Pemprov mencapai 76%, tapi wacananya tetap “anti-Ahok”.

Mohon maaf, kali ini kritik saya cukup serius. Karena wacana “anti-Ahok” yang ditopang dengan jargon “kapitalis developer”, “antek pengembang”, “anti-kemiskinan” itu seakan-akan menegasikan lawan politik Ahok dari tudingan serupa. Menurut saya pribadi, sebagai orang yang sering mengamati rapat-rapat Ahok di YouTube Pemprov, justru merasa tuduhan itu cuma jargon emosional terhadap sosok Ahok. Entahlah, mungkin karena dia Cina, dan pengembang kapitalis developer juga banyak yang Cina jadi pasti akan lebih pro ke Ahok daripada ke Anies yang Arab. Ini asumsi emosional saya saja sih. Tapi kalau memang ada asumsi demikian terbersit sedikit saja, terus terang saya semakin prihatin terhadap wacana gerakan progresif.

Tidak perlulah saya jabarkan soal hubungan mesra Anies dengan Harry Tanoe dan Perindo sejak ia masih menjabat Menteri, apalagi bicara soal saham Sandiaga di PT. Aetra yang jadi salah satu penyebab mahalnya tarif air di Jakarta yang sedang berusaha diperangi Ahok. Sayangnya, rezim Anies-Sandi sepertinya akan lebih sulit disentuh karena mereka muslim dan bukan cina. Apalagi mereka punya FPI dan ormas-ormas ber-otot lain yang siap mengawal karena memang sudah dijanjikan dapat jatah dari APBD.

Akhirul kalam, saya berpendapat bahwa memaksakan diri untuk anti-Ahok tanpa ingin terjebak menjadi pro-Anies memang jadi simalakama bagi gerakan progresif Jakarta khususnya. Toh pilihan atau seruan Golput juga tidak pernah jadi gerakan signifikan karena hampir sebagian besar orang merasa punya pilihan sesuai preferensinya; agama atau rekam jejak. Menertawakan mereka yang “choosing the lesser evil” jadi naif buat saya, bukan lagi sebagai sikap politis kritis yang sadar situasi.

Sekarang Anies menang, berarti juga kemenangan bagi FPI dan ormas-ormas represif lainnya (plislah ga usah nyeletuk, “kayak yang Ahok nggak represif ajah!”). Berarti juga kemenangan bagi disintegerasi horizontal, dimana cina-kafir tidak punya kesempatan, komunis-liberalis apalagi. Saya tetap berharap, semoga wacana partai poitik alternatif segera terwujud dan bisa menyuguhkan sesuatu yang konkret sebagai angin segar. Saya hanya penasaran bagaimana kedepannya gerakan progresif menyikapi dan mewujudkannya dalam ruang gerak yang semakin sempit akibat kegagapan yang salah sasaran.

Salam Super..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun