Padahal, maaf, ada juga pria yang memberi nafkah batin lebih besar daripada nafkah materi.
Tapi sayangnya, tagihan PLN tidak bisa dibayar pakai kasih sayang.
Begitu ngomong "aku ingin resign," komentar langsung datang bertubi-tubi seperti hujan notifikasi. Yang satu bilang, "Wah, hebat, berani keluar dari zona nyaman."
Yang lain sinis, "Kamu tuh malas, belum sukses aja sudah mau nyerah."
Ada juga yang bijak, tapi nyebelin: "Lihat situasi dulu, Mas." Padahal yang ngomong juga kerjaannya ngeluh tiap hari.
Saya akhirnya sadar: komentar orang itu seperti nyamuk di kamar tidur. Bisa kamu tepuk, tapi nanti datang lagi dengan akun lain.
Jadi ya sudah, biarlah mereka berkomentar. Yang penting saya tetap mencari cara agar pendapatan pasif itu benar-benar aktif.Kalau sekarang belum bisa, ya sabar dulu. Tuhan pun menciptakan dunia dalam enam hari, bukan satu hari.
Kapan hari ada teman tanya, "Mas, kalau nanti benar-benar bisa hidup dari pendapatan pasif, apa yang akan anda lakukan?"
Saya jawab, "Pertama, saya mau tidur siang tanpa rasa bersalah. Kedua, mau bangun pagi bukan karena alarm, tapi karena ayam tetangga."
Artinya, resign itu bukan berarti berhenti berjuang. Resign itu cuma ganti jalur perjuangan.
Dulu kita kerja keras supaya dapat uang. Nanti, semoga uang yang kerja keras buat kita.
Itu bukan mimpi muluk, cuma mimpi logis, asal tahu caranya dan tidak mudah baper kalau gagal.
Kalau pendapatan pasif sudah cukup, saya akan resign. Kalau belum cukup, ya terus berproses.
Dan selama proses itu, saya ingin tetap waras, tidak jadi budak motivasi, tapi juga tidak menyerah pada rutinitas.
Sebab hidup ini tidak perlu terlalu serius. Kalau penghasilan belum pasif, ya biarkan dulu kita yang aktif. Yang penting, jangan sampai iman ikut pasif juga. Jadi, Mas dan Mbak sekalian... kalau ada teman bilang dia ingin resign demi pendapatan pasif, jangan langsung menilai dia malas. Bisa jadi dia sedang belajar mencintai hidup, tanpa jam absen, tanpa rapat daring, tanpa drama.