Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antre Gas 3 Kg Bagaikan Ibadah Kesabaran Kolektif

8 Oktober 2025   19:16 Diperbarui: 8 Oktober 2025   19:16 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabung  Gas Elpiji (sumber: Dokumen Pribadi)

Pernahkah Anda melihat antrean gas 3 kilogram di kampung-kampung? Kalau belum, silakan datang kapan-kapan. Jangan lupa bawa kipas, air minum, dan sedikit bekal sabar. Karena antre gas bukan cuma urusan dapur, ini ritual sosial mingguan, latihan spiritual, dan ujian kebijakan publik yang belum lulus uji coba.

Di lingkungan saya, antrean gas ini sudah seperti jadwal tetap. Seminggu sekali, tapi jamnya misterius. Kadang siang bolong, pas matahari sedang marah-marah di atas kepala. Kadang sore, pas ayam baru mulai balik kandang, malah kadang magrib. Pernah juga malam hari-dulu, ketika sebagian orang sudah masuk alam mimpi.

Yang lucu, tapi sekaligus miris, adalah kalau stok datang "tiba-tiba". tanpa pengumuman, tanpa tanda-tanda alam. Tiba-tiba saja ada kabar: "Gas masuk pangkalan!" Maka warga pun berlarian seperti peserta lomba lari 17-an. Ada yang datang pakai motor, ada yang dorong gerobak, ada yang bawa kursi plastik dan paying karena tahu antrean panjang bakal panas dan lebih lama dari khutbah Jumat.

Masalahnya, yang kerja di ladang, di sawah, di pasar, mereka sering tidak tahu kabar itu. Pulang-pulang, tinggal melihat tabung kosong di rumah. Kalau mau masak, harus beli di warung, dengan harga bisa dua kali lipat dari harga pangkalan. Dan gugurlah esensi  subsidi yang  diberikan  pemerintah. "Gas langka, Bu," kata penjualnya. Padahal yang langka itu bukan gas, tapi keadilan distribusinya.

Saya sering berpikir, kalau pembelian BBM Pertalite bisa pakai barcode, kenapa gas 3 kilogram tidak bisa? Bukan untuk gaya-gayaan digitalisasi, tapi biar tertib dan adil.  Kalau pakai barcode, tiap rumah bisa dapat jatah pasti, tak perlu rebutan. Tak ada yang harus berdiri di bawah matahari seperti santri yang sedang disuruh tafakur di lapangan.

Tapi, yah, mungkin urusannya tidak sesederhana itu. Karena kita hidup di negeri yang sering kali lebih cepat membangun aplikasi ketimbang memperbaiki niat. Barcode bisa dibuat dalam sehari. Tapi kejujuran? Kadang butuh seumur hidup.

Saya pernah mengamati ibu-ibu di antrean. Mereka bercanda, bergosip, saling menukar kabar, bahkan sambil diskusi gibahin orang kaya yang ikut antre. Ada yang sambil gendong anak, ada yang sambil sibuk mengabari  sanak  keluarganya agar  segera masuk antrean.


Rasanya seperti pasar mini, tapi semua sedang menunggu satu benda hijau: gas elpiji.
 Di antara tawa dan keluh kesah itu, saya belajar bahwa rakyat kita ini luar biasa tangguh.
 Mereka bisa menjadikan kesulitan sebagai ajang silaturahmi.
 Mereka bisa menertawakan penderitaan, bahkan sebelum penderitaan itu berakhir.

Di sisi lain, ada ironi besar di balik tabung kecil itu. Gas 3 kilogram disebut "gas rakyat miskin". Tapi justru rakyat miskin itulah yang paling sering tidak kebagian. Sementara mereka yang rumahnya berlantai tiga, kadang pakai gas melon juga, karena "murah, sama saja isinya."
 Lha, gimana mau tertib kalau rasa malu sudah ikut langka seperti tabung gasnya?

Budayawan pernah bilang, bangsa ini tidak kekurangan sumber daya, tapi kekurangan rasa memiliki. Kita masih sibuk rebutan manfaat, tapi malas memikirkan kemaslahatan.
 Gas 3 kilogram jadi contoh kecil bagaimana sistem distribusi kita belum beres. Pemerintah bikin kebijakan subsidi, tapi distribusinya masih seperti arisan rahasia, yang tahu hanya orang dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun