Pernah suatu pagi di kantor, Rani mempresentasikan laporan yang ia susun semalaman. Setelah selesai, bosnya tersenyum manis dan berkata, "Wah, bagus sekali, Rani... mungkin nanti bisa kita poles sedikit ya?" Rani pun pulang dengan dada berbunga. Dua hari kemudian, laporan itu direvisi total. Di sisi lain, ada Bima, rekan satu timnya, yang lebih suka kritik blak-blakan: "Pak, kalau jelek ya bilang jelek saja, biar saya perbaiki." Begitulah dunia kerja --- sebagian orang lebih nyaman dengan gula, sebagian lagi lebih memilih kopi pahit tanpa basa-basi. Tapi di tengah dua kubu itu, kita sering tersesat di antara rasa manis yang membingungkan dan kejujuran yang menakutkan.
Begitulah salah satu kebiasaan di kantor yang lebih manis dari kue ulang tahun tapi lebih berbahaya dari kolesterol, namanya sugar coating. Bukan gula pasir sungguhan, bukan pula topping donat. Ini seni berbicara ala kantor: mengkritik dengan senyum, menolak dengan pelukan, dan memarahi dengan kata "terima kasih." Kritik disulap seolah pujian, teguran disamarkan jadi "masukan kecil." Kita hidup di zaman di mana kebenaran harus pakai bedak, dan kejujuran wajib bersayap lembut agar tidak menyinggung. Maka jadilah kantor seperti panggung teater: semua berperan sopan, semua bicara indah, tapi di balik senyum, banyak hal yang sebenarnya tak beres, hanya saja sudah terlalu manis untuk diungkap.
Kata orang Harvard Business Review, sugar coating itu upaya membungkus pesan negatif agar lebih bisa ditelan tanpa tersedak. Kritik dibungkus pujian, teguran dikemas dalam apresiasi. Seolah-olah kita sedang memberi obat pahit, tapi dicelupkan dulu ke dalam sirup. Masalahnya, setelah sirupnya habis, pasien lupa bahwa itu obat. Ia kira hanya minum manisan.
Mari kita lihat contoh klasiknya. Seorang manajer bilang ke stafnya, "Kamu sudah kerja luar biasa, tapi mungkin ada sedikit hal kecil yang bisa kita perbaiki." Padahal yang sebenarnya mau dia bilang: "Laporanmu berantakan, deadline lewat, dan Excel-nya nangis."
Atau, saat ide kita ditolak dalam rapat:"Ide kamu keren banget, tapi mungkin belum waktunya." Terjemahan bebasnya: "Ngawur, tapi aku males bikin kamu sedih."
Begitulah dalam dunia kantor, kejujuran kadang dianggap terlalu keras untuk telinga yang lembut. Kita hidup di zaman di mana kebenaran harus dibungkus "coklat" agar tidak menyinggung perasaan, bahkan kalau itu demi perbaikan.
Tidak semua hal harus disampaikan seperti palu godam. Deloitte bahkan bilang, kadang kita perlu berhati-hati agar orang lain tidak runtuh secara emosional. Kritik yang terlalu vulgar bisa bikin semangat kerja kehilangan baju.
Apalagi di budaya Asia, tempat di mana wajah lebih penting daripada isi kepala. Menjaga harmoni lebih mulia daripada menyampaikan kebenaran. Di sini, kalimat "Mungkin bisa dipertimbangkan lagi" sering berarti "Buang saja ide itu sebelum menular."
Sugar coating bisa menjaga hubungan, menghindari konflik, dan melindungi ego yang ringkih. Kadang juga jadi jembatan untuk dialog yang lebih damai. Tidak semua orang siap disetrum kejujuran.
Masalahnya, terlalu banyak gula bikin darah tinggi. Dalam organisasi, efeknya juga mirip: komunikasi manis berlebihan bisa bikin sistem kerja menderita diabetes kronis.
Menurut riset Fang (2014) di Wiley Online Library, sugar coating menyebabkan distorsi informasi negatif. Artinya: pesan penting tentang kesalahan hilang di jalan karena tersesat di hutan pujian. Akibatnya, organisasi kehilangan kesempatan belajar. Orang jadi bingung:
"Ini kritik atau rayuan?"
"Apakah saya salah atau saya sedang diangkat jadi pegawai teladan?"
Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan frustrasi. Lebih parah, muncul ilusi bahwa feedback sudah disampaikan padahal intinya tidak pernah sampai.Hasilnya: tim tetap salah, kinerja stagnan, dan semua pura-pura senang, sampai akhirnya yang senang tinggal fotokopiannya.
Sugar coating yang berlebihan bisa melahirkan yang namanya toxic positivity, positivitas yang beracun.
Segalanya harus tampak "baik-baik saja."
Masalah tak boleh disebut masalah, cukup dibilang "tantangan kecil."
Kegagalan bukan kegagalan, tapi "peluang belajar." Lama-lama, ruang kerja jadi seperti taman bermain tanpa realitas. Semua orang tersenyum, tapi tidak ada yang berkembang.
Kritik jujur digantikan oleh diplomasi beraroma vanila. Padahal organisasi tanpa kejujuran ibarat mobil tanpa spion: cepat, tapi bisa nyeruduk siapa saja.
Yang kita butuhkan bukan lidah tajam, tapi hati jernih.
Bukan sugar coating, tapi radical candor, kejujuran yang berempati.
Kita bisa bilang:
"Aku tahu kamu sudah berusaha keras, tapi bagian ini belum sesuai. Yuk kita benahi bareng." Jujur, tapi manusiawi.
Metode seperti SBI (Situation--Behavior--Impact) atau BOOST bisa membantu supaya kritik tetap konkret, tidak berubah jadi drama rasa vanilla. Dan yang paling penting: bangun kepercayaan. Kalau hubungan sudah sehat, kritik bukan lagi peluru, tapi vitamin.
Kita memang hidup di zaman di mana bahasa lembut lebih dihargai daripada kejujuran lugas. Tapi kantor bukanlah tempat lomba pantun. Jika semua kritik dibungkus sampai tak terasa, maka yang kita bangun bukan tim tapi teater dan drama.
Banyak pemimpin bahkan tak sadar dirinya suka menabur gula di setiap kalimat. Bukan karena jahat, tapi karena takut. Takut merusak hubungan. Takut dibilang galak. Takut kehilangan "like" dari bawahannya. Padahal hubungan yang sehat justru lahir dari kejujuran yang dipelihara, bukan kepura-puraan yang dipoles.
Jadi, sugar coating bukan cuma soal kata, tapi soal niat. Kalau tujuannya menjaga hati sambil tetap menyampaikan kebenaran, itulah seni. Tapi kalau tujuannya menyembunyikan masalah agar tampak manis, itu jadi manipulasi.
Dalam dunia kerja, keseimbangan itu penting. Sedikit gula boleh, tapi jangan lupa garamnya. Karena tanpa garam, semua terasa hambar. Dan tanpa kejujuran, semua manis itu hanyalah kebohongan yang dipoles sopan santun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI