Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kata-Kata Manis, Antara Etika dan Kepalsuan

4 Oktober 2025   07:40 Diperbarui: 4 Oktober 2025   07:40 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernahkah kau merasakan suasana kantor yang penuh gula? Bukan gula di kopi, tapi di lidah. Kata-kata manis beterbangan ke udara seperti debu permen kapas di pasar malam. Semua tampak lembut, ramah, penuh senyum, tapi kalau dicicip sedikit---rasanya bikin mual. Itulah yang orang kota sebut sugar coating. Keterampilan diplomasi yang katanya elegan, padahal kadang hanya teknik mengelabui hati nurani.

Saya pernah duduk di ruang rapat yang dindingnya lebih tebal dari rasa jujur para penghuninya. Semua laporan terdengar bagus: "Target hampir tercapai", "Proses sedang berjalan baik", "Kendala sudah teratasi." Begitu kalimat itu selesai diucapkan, semua mengangguk seperti wayang yang digerakkan satu tangan. Tapi begitu turun ke lapangan, yang terlihat justru lubang-lubang besar: target meleset, proses mandek, masalah malah menumpuk. Rupanya yang sedang berjalan bukan programnya, tapi kepura-puraannya.

Beginilah nasib kantor yang terlalu suka kata manis: hidup di atas permen, bukan di atas data. Semua tampak indah di laporan, semua tampak lancar di presentasi, padahal sebenarnya mesin di dalamnya sudah berkarat. Orang-orang di dalamnya tak lagi bicara apa adanya, tapi apa yang ingin didengar. Dan begitulah cara pelan tapi pasti sebuah organisasi kehilangan nyawanya---bukan karena musuh, tapi karena kebohongan yang dibungkus sopan santun.

Saya tidak menolak kesantunan, tentu saja. Hidup tanpa adab itu liar. Tapi adab tanpa kejujuran hanyalah topeng yang dipoles bedak halus. Kalau bicara manis tapi menipu, itu bukan lagi diplomasi, tapi manipulasi dengan senyum. Kita ini sering lupa: kebenaran itu tidak selalu harus keras, tapi juga tidak boleh lembek. Seperti kopi: pahitnya membuat kita terjaga, bukan karena rasanya, tapi karena kejujurannya.

Kalau saya menemukan sugar coating di tim saya, saya tidak akan langsung marah. Marah itu mudah, tapi mengubah budaya jauh lebih sulit. Saya akan mengajak mereka ngobrol, tanpa mikrofon, tanpa presentasi. Saya akan tanya pelan-pelan: "Kita ini ingin kelihatan baik, atau benar-benar jadi baik?" Biasanya ruangan langsung senyap. Pertanyaan itu tak butuh jawaban di bibir, tapi di hati. Karena orang yang jujur tak perlu pandai beretorika; cukup berani mengatakan apa adanya tanpa harus menyakiti.

Masalahnya, kadang sumber penyakitnya bukan di bawahan, tapi di atasan yang terlalu suka pujian. Ada pimpinan yang lebih bahagia mendengar kabar baik palsu daripada kenyataan yang getir. Maka para staf belajar cara bertahan: bukan dengan kerja keras, tapi dengan memperhalus nada bicara. Dari sinilah lahir makhluk kantor yang fasih memuji tapi miskin solusi. Dalam budaya seperti ini, kebohongan menjadi mata uang baru yang sah untuk naik jabatan.

Saya sering melihat orang-orang yang kariernya melesat cepat bukan karena prestasi, tapi karena kelincahan lidah. Mereka ahli dalam menyusun kata, seperti penyair yang kehilangan makna. "Luar biasa, Pak!" "Ide yang sangat visioner, Bu!"---kalimat itu meluncur setiap pagi, bahkan sebelum kopi diseduh. Padahal dalam hati, mereka tahu ide itu bolong di mana-mana. Tapi lebih aman berpura-pura kagum daripada jujur dan kehilangan posisi.

Saya tidak ingin hidup seperti itu. Tidak ingin memimpin orang-orang yang manis di bibir tapi getir di hati. Saya ingin tim yang berani bicara kebenaran dengan adab. Karena yang saya butuhkan bukan sekadar kabar baik, tapi kabar benar. Dunia kerja itu bukan panggung teater, dan kantor bukan tempat latihan akting. Kita bekerja bukan untuk tampil indah, tapi untuk berbuat benar.

Sering saya bilang ke teman-teman: "Kalau mau bicara, bicaralah lembut tapi jangan kehilangan isi." Karena kelembutan tanpa isi hanyalah angin yang lewat di telinga. Sedangkan kejujuran, meski terdengar kasar, punya daya sembuh yang luar biasa. Pujian palsu hanya membuat kita tersenyum sebentar, tapi meninggalkan luka lama di kepercayaan.

Saya percaya, organisasi yang sehat bukan yang setiap hari terdengar manis, tapi yang berani menelan kepahitan bersama-sama. Yang bisa menatap kesalahan tanpa mencari kambing hitam, dan memperbaikinya tanpa perlu gembar-gembor pencitraan. Sugar coating mungkin bisa menutupi luka, tapi tidak pernah bisa menyembuhkannya.

Pada akhirnya, hidup di kantor itu sama saja seperti hidup di dunia: ujian terbesar kita bukan pada kemampuan berkata, tapi pada keberanian berkata benar. Saya lebih memilih seseorang yang jujur tapi tidak pandai bicara, daripada yang pandai bicara tapi memelintir fakta. Karena kebenaran tidak butuh pemanis---ia sudah cukup manis bagi mereka yang berani menelannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun