Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Kursi Kekuasaan Jarang diduduki Orang yang Rajin Membaca Buku

29 September 2025   11:45 Diperbarui: 28 September 2025   20:33 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri ini, jadi pejabat itu kadang mirip seperti jadi juara lomba karaoke di kampung: tak perlu suara emas, asal punya geng yang kompak bertepuk tangan, dan berteman dengan jurinya, selesai urusan. Kita sering mendengar pepatah, "pemimpin harus bijak, pemimpin harus cerdas." Tapi di lapangan, syarat naik pangkat justru lebih mirip resep sayur lodeh: tambahkan sedikit koneksi, aduk-aduk loyalitas, taburi janji-janji, lalu sajikan dengan senyum di baliho. Apakah buku pernah ditaruh dalam panci kuah kekuasaan itu? Jarang sekali.

Coba tanya pejabat kita: "Pak, terakhir kali baca buku apa?" Jangan kaget kalau jawabannya adalah, "Buku nikah." Itupun sudah lamaaaaa sekali, sekarang sudah berdebu di laci. Ada juga yang jawab, "Buku rekening, Mas." Nah, itu malah lebih sering dibaca.

Padahal, buku itu ibarat cermin yang bisa memantulkan wajah asli manusia. Kalau pejabat sering membaca buku, mereka mungkin akan malu sendiri melihat bayangan di halaman yang menertawakan kebodohan mereka. Bayangkan seorang menteri yang tiap pagi membuka Pramoedya, bukan membuka laporan proyek fiktif. Atau seorang gubernur yang asyik mengutip Tan Malaka, bukan mengutip slogan "akan kita kaji lebih lanjut."

Tetapi kenyataannya, politik kita sering berjalan tanpa perlu legitimasi intelektual. Seorang politisi bisa meroket ke kursi empuk hanya bermodalkan kelihaian membangun jaringan, menjaga loyalitas, dan memainkan simbol-simbol yang bikin rakyat meleleh. Tak perlu membaca Rousseau, cukup bisa pura-pura merakyat dengan naik motor bebek ke pasar, lalu disorot kamera. Selesai.

Lalu, apa gunanya membaca buku bagi pejabat kita? Bukankah mereka sudah lulus ujian paling sulit: ujian sabar menghadapi wartawan yang cerewet? Bukankah mereka sudah mahir dalam ilmu multitasking: satu tangan memegang mic, tangan lain memegang proposal anggaran?

Nah, justru di situlah masalahnya. Politik tanpa bacaan hanya melahirkan generasi pejabat yang pandai pura-pura serius. Mereka punya ekspresi wajah 100% "berwibawa", tapi kalau ditanya tentang akar persoalan kemiskinan, jawabannya lebih hambar dari bubur tanpa garam. Kalau ditanya tentang strategi pendidikan, jawaban default-nya adalah: "Akan kita tingkatkan koordinasi lintas sektor." Bahasa politisi yang tidak membaca itu seperti template PowerPoint: slide 1 visi, slide 2 misi, slide 3 foto diri sedang senyum.

Pejabat yang membaca buku berbeda auranya. Mereka tidak hanya tahu cara menandatangani surat, tapi juga mengerti apa makna tanda tangan itu bagi sejarah rakyatnya. Mereka tidak sekadar bisa berpidato, tapi juga bisa menyelipkan logika, rasa, dan sejarah. Beda jauh dengan pejabat yang kalau bicara, nadanya seperti iklan deterjen: berbusa-busa tapi tak jelas mencuci apa.

Mari kita bayangkan Indonesia dengan pejabat yang membaca. Anggota DPR yang membaca "Negarakertagama" mungkin tidak akan asal teriak soal nasionalisme. Menteri yang membaca "The Death and Life of Great American Cities" mungkin tidak akan gampang memberi izin pembangunan mall di tiap jengkal tanah. Presiden yang membaca "Republik"-nya Plato mungkin sadar bahwa politik bukan hanya soal menang-kalah, tapi tentang mengasuh rakyat agar bisa hidup bermartabat.

Masalahnya, di negeri ini, membaca buku sering dianggap hobi yang tidak produktif. "Ngapain baca tebal-tebal, toh rakyat lebih suka lihat kita nyanyi dangdut di TikTok," kata seorang politisi imajiner. Padahal, buku adalah bekal. Politisi yang tidak membaca ibarat sopir bus malam yang tidak tahu peta: mereka bisa sampai tujuan, tapi sepanjang jalan penumpangnya mabuk, muntah, bahkan ada yang nyemplung keluar jendela.

Satirnya, rakyat juga sering tidak peduli apakah pejabatnya membaca atau tidak. Kita lebih sibuk dengan janji-janji kampanye yang manis, meski ujungnya seperti kopi sachet murahan: hanya gula, nyaris tanpa kopi. Kita lupa bertanya: "Pak, Ibu, buku terakhir yang Anda baca apa?" Kita jarang peduli, karena lebih sibuk rebutan sembako sambil tiap minggu menambah panjang antre-an pembeli gas 3 kg yang di tabungnya ada tulisan 'untuk rakyat miskin". Kalau pejabat kita membaca, mereka akan lebih sulit berbohong. Karena buku selalu menyediakan cermin. Baca "Animal Farm," lalu coba jadi politisi yang culas. Malu sendiri nanti, karena babi di peternakan Orwell langsung melotot. Baca "Sapiens"-nya Harari, lalu coba main simbol agama untuk merebut massa. Akan terasa betapa kerdilnya trik murahan itu dalam skala sejarah manusia.

Jadi, mengapa pejabat kita perlu membaca buku? Karena buku itu tidak bisa dibohongi. Buku adalah saksi bisu yang menagih kedalaman berpikir. Politik yang tanpa bacaan hanya menghasilkan pejabat yang pandai menghafal jargon, tapi miskin imajinasi. Sedangkan pejabat yang membaca, punya kemungkinan lebih besar untuk menyalakan lampu di kepala dan hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun