Pejabat publik itu kayak tukang servis motor di bengkel. Kalau salah pasang baut, yang jatuh bukan cuma motornya, tapi pengendaranya ikut nyungsep. Bedanya, pejabat salah pasang kebijakan bisa bikin satu bangsa megap-megap. Masalahnya, banyak pejabat kita justru gagap, ilmunya cetek, dan sering lebih hafal agenda seremonial ketimbang sejarah negeri sendiri. Mereka hidup dengan laporan staf ahli, kayak orang makan mi instan tiap hari---kenyang sih, tapi gizinya minim. Padahal, buku itu bukan sekadar aksesoris di rak kayu jati ruang kerja, melainkan vitamin otak yang bisa bikin pejabat punya otot moral dan nalar.
Buku itu beda sama ringkasan staf atau laporan eksekutif yang biasanya cuma dua halaman dengan kalimat andalan: "Perlu ditindaklanjuti, Pak." Buku ngajari pejabat untuk sabar---sabar membaca ratusan halaman, sabar merenung, sabar menyadari kalau masalah hari ini sudah beranak-pinak sejak zaman VOC masih jual pala. Kalau pejabat tak pernah membaca, ya wajar kalau tiap keputusan keluar secepat update status WhatsApp: gampang diunggah, gampang pula dihapus, tapi jejaknya bisa bikin rakyat trauma panjang.
Banyak pejabat merasa pengalaman birokrasi sudah cukup. Padahal pengalaman tanpa refleksi itu kayak tukang sate yang bakar kambing tiap hari tapi tak pernah tahu resep bumbu. Rutinitas iya, visi nol. Membaca buku bikin pejabat bisa bandingkan dirinya dengan sejarah: "Wah, ternyata apa yang saya lakukan ini mirip Plato, atau jangan-jangan malah konyol kayak cerita Machiavelli." Jadi pejabat tak melulu soal tanda tangan disposisi, tapi juga urusan menyeberangkan bangsa ke masa depan.
Lihat Churchill, dia bukan cuma tukang perang, tapi juga tukang nulis. Bung Hatta lebih parah lagi: rak bukunya bisa bikin iri pustakawan. Itu bukan karena mereka gabut, tapi karena sadar bahwa kepemimpinan butuh amunisi gagasan. Bung Hatta sampai nyeletuk: "Kurang cerdas bisa belajar, kurang cakap bisa latihan, tapi kalau nggak jujur, wassalam." Nah, kalimat itu mestinya ditempel di setiap ruang rapat, lebih besar dari foto presiden sekalipun.
Buku itu sekolah kedua setelah pengalaman. Bedanya, sekolah pengalaman biayanya mahal: rakyat bisa jadi korban eksperimen. Buku ngajari pejabat untuk keluar dari zona nyaman "kursi empuk + AC dingin + kopi gratis." Tapi entah kenapa pejabat kita lebih suka zona nyaman itu ketimbang zona sunyi perpustakaan.
Kenapa pejabat malas membaca? Pertama, budaya politik kita lebih cinta kamera ketimbang isi kepala. Lebih bangga foto di baliho segede rumah ketimbang punya rak buku yang isinya bolak-balik dibaca. Kedua, ada mitos kalau staf ahli sudah cukup. Padahal staf itu ibarat teman yang cuma cerita setengah film, bikin penasaran tapi nggak jelas ujungnya. Yang bertanggung jawab tetap pejabat. Ketiga, rakyat kita sendiri malas baca. UNESCO sudah teriak-teriak soal minat baca rendah, tapi pejabat malah ikut lomba siapa paling minim menyentuh buku.
Kalau pun ada pejabat baca, biasanya pilihannya klasik-klasik. Machiavelli dengan The Prince, kitab politik yang sering dipelintir jadi resep culas. Tapi jangan salah, Harvard pun masih ngajarin itu. Machiavelli bilang: rakyat lebih percaya mata ketimbang tangan. Jadi kerja setengah hati asal muka disorot kamera, tetap aja dianggap sukses. Persis gaya politik di negeri ini, bukan?
Di Indonesia ada juga Bung Hatta: Pribadi dan Pemikiran. Itu buku GPS moral buat pejabat. Intinya sederhana: pintar bisa dilatih, cakap bisa ditempa, tapi kejujuran itu langka, tak ada marketplace yang menjualnya. SBY pun doyan The Art of War. Sun Tzu bilang, menang bukan cuma soal tenaga, tapi strategi. Nah, di sini sering kebalik: strategi setengah matang, tenaga pun tak ada, tapi sudah semangat bikin spanduk kemenangan.
Pejabat yang rajin membaca itu biasanya bisa langsung ketahuan, bukan dari foto gaya seriusnya di koran, tapi dari cara dia ngomong dan bereaksi. Kalau ditanya wartawan, jawabannya nggak melulu "akan kami kaji lebih lanjut" atau "sesuai prosedur yang berlaku". Orang yang kenyang buku biasanya tutur katanya kaya, ada rasa, ada logika, ada sejarah yang ikut nimbrung di kalimatnya. Bahkan marah pun tetap elegan, bukan marah-marah gratis ala sinetron.
Sikapnya juga lain. Kalau pejabat yang nggak pernah baca buku gampang panik begitu ada demo, langsung mikir bikin aturan larangan kumpul-kumpul. Tapi pejabat yang rajin baca akan tenang, bisa membedakan mana masalah serius dan mana hanya "riuh rendah" demokrasi. Dia bereaksi bukan dengan teriakan, tapi dengan strategi. Itu karena di kepalanya sudah penuh contoh dari ratusan tokoh, ribuan halaman, dan jutaan pengalaman orang lain yang dia pinjam lewat buku.