Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaga Program Makan Bergizi Gratis dari Resiko Keracunan

26 September 2025   11:35 Diperbarui: 26 September 2025   09:21 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau mendengar kata “gratis”, telinga kita langsung berbinar.  Apalagi kalau mendengar kata ”makan gratis”, apalagi mendengar “makan bergizi gratis”.Siapa sih yang nggak senang? Murid-murid kenyang, orang tua hemat karena uang bisa digunakan untuk keperluan lain, pemerintah dapat tepuk tangan. Seolah semua pihak merayakan pesta nasi kotak tanpa perlu merogoh dompet. Tapi, tunggu dulu. Pengalaman saya ngopi di warung pinggir jalan sudah mengajarkan satu hal: makanan murah atau gratis itu tidak otomatis aman, apalagi bergizi. Pernah beli es teh seribu rupiahan, lalu perut mendemonstrasi dari malam sampai esok paginya. Ironisnya, yang mudah terekspose yang bermasalah. Program MBG yang aman liputannya sebatas seremonial. Tapi ada beberapa tempat yang bermasalah maka video tiktoknya akan langsung berseliweran  di layar gawai kita.

Nah, program makan bergizi gratis di sekolah itu ibarat konser musik. Di atas panggung terdengar merdu, tapi di belakang panggung kaadang bisa penuh kabel semrawut, listrik nyetrum, bahkan sound system bisa meledak sewaktu-waktu. Yang terlihat anak-anak sedang lahap makan ayam goreng, tapi yang tak terlihat adalah: dari mana ayam itu datang, siapa yang motong, siapa yang masak, siapa yang ngantar, dan siapa yang memastikan bahwa ayamnya tidak sudah pensiun dari kandang sejak seminggu lalu.

Jalan Berliku Makanan dari Ladang Bahan Baku

Mari kita bayangkan rantai perjalanan makanan itu. Pertama, bahan baku. Sayur-sayuran dikirim dari petani. Kadang masih segar, kadang sudah layu seperti wajah murid kelas sembilan yang pulang jam 3 sore. Lalu daging ayam, tahu, tempe, telur—semua harus melalui penyimpanan yang benar. Kalau tidak, ya siap-siap saja anak-anak bukannya belajar matematika, malah sibuk antre ke toilet.

Setelah itu, proses masak. Dapur yang mengolah bahan baku tadi memegang peran yang sangat penting. Kalau alat masaknya bersih, tenaga yang mengolahnya paham higienitas, kita boleh tenang. Tapi kalau wajan sudah hitam pekat seperti papan tulis zaman dulu, air cuci piring pakai ulang, dan bumbu diaduk dengan tangan yang tadi habis pegang HP, ya wassalam.

Lalu, distribusi. Nah ini yang paling menegangkan. Makanan harus diantar ke sekolah-sekolah yang berjauhan. Bayangkan kotak nasi digendong motor atau dibawa ke tujuan di bawah terik matahari, Jam 7 pagi dimasak, jam 11 baru nyampe. Anak-anak makan jam 12an.

Risiko Keracunan: Gratis yang Mahal

Keracunan makanan di sekolah bukan cerita fiksi. Sudah sering kita dengar berita puluhan murid dilarikan ke puskesmas. Anak-anak jatuh sakit, orang tua panik, guru kelimpungan, pemerintah kena semprot. Jadi, jangan anggap enteng. Gratis itu memang enak di telinga, tapi keracunan itu biayanya bisa bikin negara bangkrut, minimal bikin ibu-ibu satu kampung heboh.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Petani yang jual sayur? Koki yang masak? Sopir kendaraan yang telat antar?

Solusi: Jangan Cuma Niat Baik

Kalau kita mau jujur, program ini mulia. Anak-anak memang butuh asupan bergizi. Otak butuh protein, badan butuh energi, hati butuh sayur. Tapi niat baik harus ditemani tata kelola. Niat tanpa sistem itu kayak murid rajin yang bawa buku tebal tapi isinya kosong. Solusinya apa?

Pertama, standar bahan baku. Pemerintah harus memastikan sayur, daging, dan lauk datang dari pemasok yang jelas, bersertifikat, dan rutin diperiksa. Kedua, dapur dan tenaga masak harus dilatih soal higienitas. Jangan sampai tenaga masak tahu cara bikin rendang enak, tapi tidak tahu cara cuci tangan pakai sabun yang benar. Ketiga, sistem distribusi harus profesional. Kalau perlu, makanan dikemas dengan teknologi yang menjaga suhu makanan.

Dan yang paling penting: pengawasan independen. Tidak cukup guru atau kepala sekolah yang mengawasi. Harus ada tim khusus yang rutin mengecek kualitas. Kalau ditemukan pelanggaran, jangan cuma ditegur, tapi diberi sanksi jelas.Anak-anak butuh makan yang benar-benar sehat, Kalau pemerintah bisa menjamin itu, barulah kita tepuk tangan sambil berkata: “Akhirnya gratis beneran gratis—bukan gratis di depan, bayar di belakang lewat biaya obat.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun