Kalau mendengar kata “gratis”, telinga kita langsung berbinar. Apalagi kalau mendengar kata ”makan gratis”, apalagi mendengar “makan bergizi gratis”.Siapa sih yang nggak senang? Murid-murid kenyang, orang tua hemat karena uang bisa digunakan untuk keperluan lain, pemerintah dapat tepuk tangan. Seolah semua pihak merayakan pesta nasi kotak tanpa perlu merogoh dompet. Tapi, tunggu dulu. Pengalaman saya ngopi di warung pinggir jalan sudah mengajarkan satu hal: makanan murah atau gratis itu tidak otomatis aman, apalagi bergizi. Pernah beli es teh seribu rupiahan, lalu perut mendemonstrasi dari malam sampai esok paginya. Ironisnya, yang mudah terekspose yang bermasalah. Program MBG yang aman liputannya sebatas seremonial. Tapi ada beberapa tempat yang bermasalah maka video tiktoknya akan langsung berseliweran di layar gawai kita.
Nah, program makan bergizi gratis di sekolah itu ibarat konser musik. Di atas panggung terdengar merdu, tapi di belakang panggung kaadang bisa penuh kabel semrawut, listrik nyetrum, bahkan sound system bisa meledak sewaktu-waktu. Yang terlihat anak-anak sedang lahap makan ayam goreng, tapi yang tak terlihat adalah: dari mana ayam itu datang, siapa yang motong, siapa yang masak, siapa yang ngantar, dan siapa yang memastikan bahwa ayamnya tidak sudah pensiun dari kandang sejak seminggu lalu.
Jalan Berliku Makanan dari Ladang Bahan Baku
Mari kita bayangkan rantai perjalanan makanan itu. Pertama, bahan baku. Sayur-sayuran dikirim dari petani. Kadang masih segar, kadang sudah layu seperti wajah murid kelas sembilan yang pulang jam 3 sore. Lalu daging ayam, tahu, tempe, telur—semua harus melalui penyimpanan yang benar. Kalau tidak, ya siap-siap saja anak-anak bukannya belajar matematika, malah sibuk antre ke toilet.
Setelah itu, proses masak. Dapur yang mengolah bahan baku tadi memegang peran yang sangat penting. Kalau alat masaknya bersih, tenaga yang mengolahnya paham higienitas, kita boleh tenang. Tapi kalau wajan sudah hitam pekat seperti papan tulis zaman dulu, air cuci piring pakai ulang, dan bumbu diaduk dengan tangan yang tadi habis pegang HP, ya wassalam.
Lalu, distribusi. Nah ini yang paling menegangkan. Makanan harus diantar ke sekolah-sekolah yang berjauhan. Bayangkan kotak nasi digendong motor atau dibawa ke tujuan di bawah terik matahari, Jam 7 pagi dimasak, jam 11 baru nyampe. Anak-anak makan jam 12an.
Risiko Keracunan: Gratis yang Mahal
Keracunan makanan di sekolah bukan cerita fiksi. Sudah sering kita dengar berita puluhan murid dilarikan ke puskesmas. Anak-anak jatuh sakit, orang tua panik, guru kelimpungan, pemerintah kena semprot. Jadi, jangan anggap enteng. Gratis itu memang enak di telinga, tapi keracunan itu biayanya bisa bikin negara bangkrut, minimal bikin ibu-ibu satu kampung heboh.
Lalu siapa yang harus disalahkan? Petani yang jual sayur? Koki yang masak? Sopir kendaraan yang telat antar?
Solusi: Jangan Cuma Niat Baik