Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PR Anak yang Bikin Orang Tua pusing

22 September 2025   15:54 Diperbarui: 22 September 2025   15:54 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap malam di rumah-rumah Indonesia, ada ritual klasik: anak buka buku PR, orang tua buka keningnya---alias berkerut---dan akhirnya buka Google atau ChatGPT. Lucunya, sering kali bukan anak yang menyerah duluan, tapi bapak-ibunya yang sudah lempar handuk sambil bilang, "Nak, kayaknya kamu besok tanya gurumu saja, ya." Maka PR bukan lagi singkatan dari Pekerjaan Rumah, tapi lebih pas jadi Penderitaan Rame-rame.

Bayangin aja, anak kelas 3 SD ditanyain soal yang bikin bapaknya harus buka kalkulator. Murid SMP ketemu pertanyaan yang malah bikin omnya yang insinyur garuk-garuk kepala. Jadi kadang kita bingung, ini PR buat anak sekolah atau buat sekeluarga sekalian?

Guru pasti maunya mulia, biar anak-anak nggak cuma hafal rumus kayak robot, tapi bisa mikir kritis. Tapi kalau soalnya udah level dewa, niat baik itu malah berubah jadi prank. Anak yang tadinya pede, tiba-tiba ngerasa bodoh, kayak lagi main TTS edisi "pensiunan gabut" yang pertanyaannya lebih sulit dari ujian CPNS.Orang tua pun jadi korban kedua. Bayangkan, malam yang harusnya dipakai bapak rebahan sambil nonton berita gosip, atau ibu nyicil drama Korea, malah berubah jadi bimbingan belajar darurat. Ada yang masih sabar jelasin, ada yang akhirnya naik pitam, dan ada pula yang pasrah total: "Nak, ingat ya... di dunia ini ada hal-hal yang memang tidak bisa kita jawab."

Masalahnya bukan cuma nilai ulangan, tapi juga mental anak. Kalau soal terasa mustahil, anak belajar satu hal: menyerah. Padahal sekolah itu mestinya bikin anak berani mencoba, percaya diri, dan makin penasaran sama ilmu. Kalau kebanyakan dikasih soal "di luar nalar", anak malah tumbuh dengan doktrin: belajar itu penderitaan. Lah kalau sudah begitu, jangan salahkan mereka kalau besok-besok lebih semangat ikut kuis TikTok daripada buka buku Matematika.

PR itu mestinya ya secukupnya aja. Sesekali boleh sih kasih soal yang agak susah, tapi jelas ditulis: ini tambahan, bukan kewajiban. Kayak beli nasi goreng terus dapet kerupuk---kalau ada seneng, kalau nggak ada pun nasinya tetap bisa dimakan. Dengan begitu, anak nggak merasa bodoh hanya karena belum waktunya loncat ke materi kelas di atasnya.

Guru, murid, orang tua bisa bersinergi. Guru bikin soal sesuai kurikulum, murid belajar sesuai tahapnya, orang tua cukup kasih dukungan moral---plus cemilan kalau bisa. Kalau semua pihak tahu porsinya, maka PR tidak akan berubah jadi horor keluarga.

Pendidikan mestinya bukan lomba siapa paling cepat naik level kayak main game online. Ia proses bertahap, supaya anak-anak kita bisa belajar dengan rasa percaya diri. Kalau soal ujian terus-terusan lebih susah daripada kelasnya, jangan-jangan yang sedang diuji bukan muridnya, tapi kesabaran orang tua dan keikhlasan hati gurunya.

Sebenarnya gampang kok. Sebelum ngasih soal, guru coba kerjain sendiri dulu. Kalau pas ngerjain gurunya aja sampai kening berlipat, pensil hampir patah, atau malah buka Google, itu tandanya soal itu belum cocok buat anak-anak.

PR itu harusnya latihan, bukan jebakan. Jadi porsinya ya pas. Kasih soal yang sesuai kelasnya, biar anak merasa bisa, bukan merasa tolol. Kalau mau kasih soal yang lebih susah, boleh banget, tapi jelas statusnya: ini soal tambahan, bukan kewajiban.

Guru juga bisa iseng ngetes soal ke orang lain yang seumuran murid. Kalau baru baca aja sudah bikin mereka pusing, ya jelas anak-anak juga bakal kewalahan. Dari situ kelihatan mana soal yang bikin belajar jadi seru, mana yang malah bikin trauma PR.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti menjadikan PR sebagai teka-teki silang nasional. Biar anak-anak kita tumbuh dengan pengalaman belajar yang sehat: kadang susah, kadang mudah, tapi tetap manusiawi. Kalau PR masih dianggap keren karena bikin anak stres, ya siap-siap aja generasi depan lebih percaya sama jawaban TikTok daripada guru. Ironisnya, yang kalah nanti bukan cuma murid, tapi juga sekolah---karena kelas berubah jadi sekadar ruang tunggu sebelum anak buka internet.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun