Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gunungan Sampah dan Janji Segunung

20 September 2025   17:10 Diperbarui: 20 September 2025   17:02 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir setiap pagi, sebelum Anda sempat gosok gigi, sebelum Anda sempat update status di WhatsApp, Anda sudah menghasilkan sampah. Bahkan kadang status WhatsApp Anda sendiri juga termasuk sampah. sayangnya, sampah yang ini nggak bisa dipungut tukang rongsok.

Menurut rilis hasil riset BPS (2024), setiap hari, satu orang penduduk Indonesia rata-rata menyumbang lebih dari setengah kilo gram sampah. Jika dihitung per tahun, maka satu orang menghasilkan sekitar 255-365 kg sampah. Banyak banget kan?! Negeri ini bisa bikin "Candi Borobudur" baru, tapi bukan dari batu, melainkan plastik kresek bekas belanja emak-emak di pasar.

Tapi tenang deh, jangan menganggap sampah itu dosa yang tak terampuni. Sampah sebenarnya punya potensi ekonomi. Dari botol plastik, minyak jelantah, sampai pecahan kaca. Bahkan, kalau mau serius dikit, mungkin kita bisa ekspor sampah, lalu masuk Forbes versi daur ulang.

Masalahnya, budaya kita masih alergi sama kata "sampah". Padahal apa yang kita sebut sampah di sini, di tempat lain bisa jadi barang mewah. Plastik bekas bisa jadi tas branded di Paris. Minyak jelantah bisa jadi biodiesel. Kardus bekas bisa jadi karya seni kontemporer di museum luar negeri---dan banyak yang mengagumi itu.

Tapi ya begitulah. Banyak orang masih lebih suka membuang daripada mengelola sampah. TPA kita jadi bukit-bukit baru yang merusak pernapasan sekaligus merusak  pemandangan. Kalau tren ini diteruskan, anak cucu kita nanti piknik bukan ke gunung Bromo, tapi ke "Gunung TPA Bantar Gebang"--- selfie sambil menutup  hidung yang tidak mancung.

Limbah yang mentumpuk itu tidak cuma jadi masalah mata, tapi juga masalah napas, tanah, air, bahkan iman. Dari sampah keluar metana, karbon dioksida, singkatnya: paket komplit racun buat lingkungan. Air tanah tercemar, sungai bau, laut penuh plastik, ekosistem rusak.

Kalau mau jujur, sampah itu bukan cuma soal plastik dan bungkus makanan. Sampah juga bisa berupa pola pikir. Kita gampang sekali lempar tanggung jawab ke pemerintah---"urusan Dinas Kebersihan lah"---padahal di tangan kita sendiri masih ada plastik sisa belanja.

Jakarta, misalnya, tiap hari menghasilkan lebih dari 7.000 ton sampah. Angka itu bukan main. Dan siapa penyumbang utamanya? Ya kita juga, yang hobi jajan pakai plastik sekali pakai. Ironisnya, bungkusnya langsung dibuang, tapi fotonya DI upload lima kali ke Instagram.

Jadi jangan buru-buru nunjuk orang lain. Coba lihat ke cermin: yang jadi sampah sebenarnya plastik di tangan kita, atau kebiasaan kita yang malas berubah?

Gunungan Sampah, Janji Segunung

Kalau kita mau jujur, sampah plastik itu masih kalah berbahaya dibanding sampah politik. Plastik butuh ratusan tahun terurai, tapi janji-janji politik kadang tidak terurai selamanya. Plastik bisa didaur ulang jadi tas, kursi, bahkan paving block. Tapi coba daur ulang janji-janji orang yang ingin jadi pejabat? Paling banter jadi baliho lima tahun sekali.

Akhirnya, sampah jadi cermin: kita tidak sedang bicara soal botol plastik dan sisa nasi saja, tapi tentang cara kita memperlakukan tanggung jawab. Kalau sampah saja kita biarkan menggunung tanpa solusi, jangan-jangan itu karena mentalitas kita juga lebih suka menumpuk masalah ketimbang menyelesaikannya.

Gunungan sampah di TPA masih bisa diangkut pakai truk---meski tiap hari Jakarta saja menghasilkan lebih dari 7.000 ton sampah. Tapi gunungan birokrasi di kantor pemerintahan? Truknya bisa mogok bahkan sebelum jalan.

Kalau ada warga buang plastik ke kali, bisa kena denda. Tapi kalau ada pejabat buang muka ketika berpapasan, kita paling cuma bisa ngedumel. Aturannya keras buat rakyat kecil, longgar buat yang punya kuasa.

Lucunya, kita ini kadang lebih sibuk bikin aturan soal plastik ketimbang soal etika. Plastik sekali pakai dilarang, tapi "sekali pakai rakyat buat pencitraan" kok dibiarkan? Padahal dua-duanya sama-sama bikin polusi---bedanya satu mencemari lingkungan, satu lagi mencemari kepercayaan.

Waktu kampanye, janji kota bebas sampah terdengar megah. Setelah terpilih, yang bebas justru mereka---bebas dari tanggung jawab. Sampah plastik masih bisa dijual ke pengepul. Tapi sampah birokrasi? Bank sampah mana yang mau nerima?

Maka jangan heran kalau kita hidup di negeri dengan dua gunungan: gunungan plastik di TPA, dan gunungan wacana di rapat-rapat. Bedanya, gunungan plastik bikin sesak napas, gunungan wacana bikin sesak hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun