Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menjaga Ibu

4 Oktober 2010   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Kakak-kakakmu kemana, Wi?" tanya ibu pelan. Tapi itulah yang membuatku kaget. "Hari ini kok rumah sepi sekali. Bukannya mereka pada libur?" Aku segera mematikan tv dan meraih ibu yang terduduk di atas kursi roda. Aku bawa menuju ruang tengah. Entahlah, melihat ibu hari ini membuatku ingin menangis. Ini makin menambah tidak karuannya perasaanku sejak mendengar berita pagi tadi. Seperti ada yang mengganjal dan menekan. Apalagi jika kemudian melihat kondisi ibu, tambah sedih saja. Ibu memang sudah sepuh. Selain karena tingginya gula darah yang membuat ibu sulit berjalan, belakangan ini penyakit jantungnya sering kumat. Aku sampai-sampai meminta mas Ibnu dan mbak Santi sementara tinggal disini. Aku sudah tak sanggup menjaga ibu sendirian, apalagi jika mengingat betapa syoknya aku saat ibu terserang jantung akibat kelelahan lepas lebaran kemarin. Terlebih karena si bungsu, Sigit, mulai kembali masuk kuliah di Semarang. Untungnya mas Ibnu dan keluarga setuju, meski akibatnya jarak ke kantor dan sekolah anak-anak mereka jadi makin jauh. Sejak saat itulah dan terutama lagi saat ini kami sepakat menjauhkan ibu dari hal-hal yang bisa menyerang kondisi lemah jantungnya. "Pada kemana tho?" "Euh, anu...mas Ibnu lembur, Bu. Mbak Santi...lagi bayar listrik," aku mengarang. Mas Ibnu sebenarnya pergi keluar kota pagi-pagi sekali tadi. Sementara mbak Santi sedang mengurus sesuatu di kantor polisi. "Anak-anak?" "Belum pulang sekolah, Bu!" Ibu menarik nafas. Hening membuat ibu kesepian. Ibu lantas memintaku mendorongnya ke ruang tv. Belum sempat aku meraih kursi, handphoneku berbunyi. Ini dari mas Ibnu. Segera aku pamit dan menjauh dari ibu. Jantungku ikut berdebar saat mendapati getaran miris dari suara kakak. "Gimana, mas?" aku inisiatif bertanya. Suaranya makin parau saat kemudian dia berkata. "Benar, itu positif Sigit...!" Blas! Aku terdiam. Darahku seperti terserap ke bawah. Kakiku lunglai. Yang kami khawatirkan sejak pagi tadi ternyata menjadi kenyataan. Ya Allah...! Tangisku hampir saja pecah kalau saja mas Ibnu tidak cepat mengingatkan. "Sing sabar ya, Wi! Aku juga bingung dan syok. Tapi kita mesti tenang. Yang penting kamu tetep jaga ibu, ya! Aku sudah telepon mbakmu. Dia yang akan mengurusi penerimaannya disini" Ah, meski sudah kutenangkan tetap saja air mataku jatuh. Pikiranku tak bisa fokus. Semuanya serba gelap rasanya. Ya Tuhaan...! "Telepon dari siapa?" tanya ibu, membuatku cepat menghapus air mata yang basah di pipi dan kembali mendekat pada ibu. "Itu..., dari temen Dewi tadi," ucapku berbohong. Mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin berterus terang. "Wi, kalau Sigit nelpon, bilang jangan sering-sering pulang kalau masih sibuk kuliah. Nggak usah terlalu mikirin ibu. Kasihan, jadi nggak konsen kuliahnya nanti." "Iya, Bu!". Uh, lagi...aku hampir menangis. Untung saja ibu tidak melihat. Aku sudah benar-benar kehilangan kekuatanku sendiri. Entahlah, apa aku masih bisa terus menjaga ibu sedang untuk menjaga emosiku sendiri saja aku sudah hampir menyerah. * * * Tv kunyalakan seperti pinta ibu. Aku memindah-mindahkan channel dengan cepat. Mencari-cari acara yang bukan tentang berita kecelakaan kereta api dini hari tadi. Cirebon, 3 Oktober 2010 * hanya kisah fiktif yang bersumber dari kejadian nyata ** foto diambil dari google

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun