Mohon tunggu...
RAMDHAN BUHANG
RAMDHAN BUHANG Mohon Tunggu... Hanya Orang Biasa

Menulis bagi saya adalah cara menjaga akal sehat publik. Saya jurnalis yang menelusuri sisi manusia di balik data, menulis dengan tajam namun tetap berpijak pada fakta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika ASN Menjadi Pedagang Minyak Gelap

9 Oktober 2025   22:18 Diperbarui: 10 Oktober 2025   01:16 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antrean jeriken dan mobil pikap bermuatan galon di SPBU bukan lagi pemandangan aneh di Bolaang Mongondow Utara (Boltara), salah satu kabupaten di ujung Sulawesi Utara. Di bawah terik siang—kadang pula di bawah temaram lampu malam—deretan kendaraan pelansir tampak sabar menunggu giliran.

Mobil-mobil pikap yang membawa jeriken tampak mendominasi antrean, menutupi barisan kendaraan pribadi dan sepeda motor yang mengular di belakang. Di bahu jalan, truk-truk ekspedisi lintas provinsi—Makassar, Gorontalo, hingga Manado—ikut menanti giliran dengan sabar, menciptakan kemacetan panjang di sekitar area SPBU.

Sementara itu, di bawah lampu kuning yang mulai redup, petugas pompa berseragam merah Pertamina tampak sibuk melayani pengisian ke arah mobil-mobil bermuatan jeriken. Pemandangan ini seolah menggambarkan ironi keseharian: antrean panjang dibiarkan, ketimpangan diabaikan.

Di negeri yang menamakan dirinya “adil dan makmur”, solar bersubsidi yang seharusnya menjadi hak nelayan dan petani justru mengalir deras ke tangan-tangan yang pandai bermain di celah hukum.

Sudah lama publik mencium bau amis dalam rantai distribusi BBM bersubsidi. Tapi seperti kebanyakan kasus di negeri ini, semuanya berhenti pada desas-desus, pada percakapan warung kopi, atau status media sosial yang segera tenggelam dalam arus berita baru.

Sampai akhirnya, pada Selasa malam, (7/10/2025), di Boltara, polisi benar-benar menemukan bukti: sebuah rumah warga di Desa Kuala, Kecamatan Kaidipang, dijadikan lokasi penimbunan solar bersubsidi. Dua mobil pikap dengan tangki modifikasi, belasan galon solar, dan sistem pembelian menggunakan barcode kendaraan orang lain—semuanya terungkap dalam operasi senyap Satreskrim Polres Boltara.

Kasat Reskrim Polres Boltara, IPTU Mario Valentino Sopacoly, SH, MH, menyebut operasi itu telah dipantau selama beberapa hari sebelum akhirnya digerebek. 

“Pelaku memanfaatkan barcode milik kendaraan orang lain untuk membeli solar bersubsidi dalam jumlah besar. Ini bukan sekadar pelanggaran, tapi kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat kecil,” ujarnya dalam keterangan pers usai penangkapan.

Pelakunya bukan siapa-siapa. Hanya warga biasa, lelaki 53 tahun, yang mungkin tak punya hubungan langsung dengan kekuasaan. Tapi siapa yang percaya bisnis kotor seperti ini bisa bertahan enam bulan tanpa ada yang melindungi? Di negeri yang penuh izin dan laporan, kejahatan jarang berjalan sendirian. Ia butuh izin diam-diam, kadang bahkan dari mereka yang memakai seragam negara.

Polisi menyebut modusnya sederhana: membeli solar bersubsidi menggunakan barcode kendaraan milik orang lain. Tapi di balik kesederhanaan itu tersembunyi kelicikan yang rumit. Barcode tak akan berpindah tangan tanpa ada restu. Rantai itu panjang mulai dari operator pompa, pengawas SPBU, sampai orang-orang yang menutup mata atas antrean jeriken yang seolah tak pernah habis. Dan di ujung rantai, solar itu mengalir ke tambang-tambang emas ilegal, menghidupi bisnis gelap yang entah sejak kapan dianggap biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun