Mohon tunggu...
Rama Eka
Rama Eka Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Romantipsme.com

Lajang, 23 tahun. Pengangguran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari ke-6 | Akhir Bumi

24 September 2019   00:28 Diperbarui: 24 September 2019   05:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

So, let's talk about the world today before it reaches the end of its life. 

"Seminggu yang lalu, kehancuran dunia diumumkan. itu terlalu kasar, dan kejam untuk..."
seketika aku terhenti dan berpikir untuk melanjutkan tulisanku. Apakah semua ini memang terlalu kejam?

"Setidaknya, besok adalah hari ulang tahun terakhir bumi", kalimat ini terseru dimana-mana. Di internet, televisi, koran, majalah, tiang listrik, bahkan pintu-pintu rumah yang tertutup. Entah darimana awalnya kenyataan ini disebarkan, hingga menjadi trending sampai hari ini. Orang-orang panik dan menari dengan sedih, dipinggir jalan diiringi petikan gitar seseorang diantaranya. Mereka terlihat 'mencoba untuk' tersenyum tapi raut wajah mereka tidak berkata begitu. 

Sementara diriku, hanya bisa melihat mereka menghibur diri. Aku yang tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa berdoa. Entah kenapa berdoa dan berharap menjadi hal yang banyak dilakukan masyarakat disaat-saat sedih seperti ini. Seperti fashion baju yang semua orang mengikutinya, namun ini tentang kesedihan. Fashionable grief, sepertinya kalimat yang indah itu cocok untuk pertunjukkan hari ini.

Setiap hari rasanya sama sejak hari itu. Hari dimana diberitakan bahwa bumi mencapai batas usianya minggu ini. Kami mencoba untuk tak percaya. Menghirup dan menghembuskan napas, menangis dan tertawa, mengeluh, beberapa bermain-main dengan kalimat "Aku hanya ingin mati", lalu yang lain akan berbicara tidak setuju, dan menyuruhnya berdoa, kemudian dia pergi, berlari dengan kepedihannya. Tetapi aku selalu berpikir itu hanya 'permainan tanpa akhir'. Mengorbankan seseorang untuk menyimpan kesedihannya sendiri hanya agar membuat situasi masyarakat tenang.

Saya pernah memiliki mimpi buruk yang tampak seolah itu kenyataan. Semua orang salah menempatkan topeng publik sehari-hari mereka. Orang berubah dan bertindak seolah-olah mereka adalah binatang.  Mereka berlari tanpa peduli sesamanya, seperti binatang yang lari dari amukan bencana alam dan meninggalkan yang terjatuh. Tidak dapat melakukan sesuatu, aku hanya membatu melihatnya.

Kita selalu bersembunyi dari sifat kita, naluri kita, hasrat kita, inferioritas, dorongan, tindakan, kebiasaan, dan lainnya. Kita mencintai, melengkapi, mengungkapkan, meninggalkan, mengambil risiko, dan menjadi bebas dalam mencintai, tetapi aku selalu berpikir itu semua 'permainan yang termaafkan'.

Kedamaian dunia ataupun kehancuran dunia kita seharusnya tidak terpengaruh oleh itukan? Sama halnya seperti dengan peperangan. Berapa banyak kisah yang menceritakan kehancuran didunia yang kita tinggali? Jadi, jika kita berpikir lagi tentang sebuah kekacauan besar, bukankah itu tak terlalu mengejutkan? Karena di dunia yang penuh balutan kebohongan, harusnya kita sudah terbiasa dengan kekacauan seperti ini.

Kedamaian dunia ataupun kehancuran dunia kita seharusnya tidak terpengaruh oleh itukan? Tapi, lukisan tentang neraka itu sepertinya di luar dugaan. Seperti yang kita sadari, apabila hari ini adalah yang terakhir, itu pasti akan terjadi dan tidak ada yang dapat merubahnya. Sama halnya seperti kisah yang orang tua kita pernah ceritakan. Berapa banyak kisah yang telah kita dengarkan seputar akhir dunia? Harusnya kita sudah terbiasa saat mendengar kenyataan seperti ini.

Bintang buram langit malam luar biasa indah malam ini, tembakan besar dari angkasa sepertinya sudah menyerah & mengungkapkan kodrat mereka yang sebenarnya. Gambaran dan berita kehancuran mengelupas bagaikan "kebohongan" yang sadis. Beberapa wajah teralir 'hujan' kepipi mereka. Satu lagi malam terakhir besok, dan semua "kebohongan" akan lenyap dari dunia yang indah ini Dan keesokan paginya semua orang yang berharap akan tenang, dan orang-orang yang menangis akan tertawa, dan para penari merilekskan bahu mereka. Semuanya, memulai memasang topeng publiknya lagi.

Photo by NeONBRAND on Unsplash .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun