Mohon tunggu...
Alfi Ramadhani
Alfi Ramadhani Mohon Tunggu... Social Worker

Bekerja sebagai pekerja sosial di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Belajar Damai dari Upacarika

20 Mei 2025   16:11 Diperbarui: 20 Mei 2025   18:49 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama Peserta Cangkrukan (Sumber:Dokumentasi Penulis)

Pada hari Jumat, 16 Mei 2025, saya berkesempatan hadir dalam forum Cangkrukan yang diselenggarakan oleh komunitas Gusdurian Yogyakarta. Acara ini menjadi ruang perjumpaan lintas iman, mempertemukan berbagai elemen masyarakat dari latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda untuk berdialog dan berbagi pengalaman tentang keberagaman.

Malam itu, saya hadir bukan hanya sebagai penanggap, tetapi juga sebagai pendengar. Dan dari seorang pemateri istimewa, saya justru menjadi seorang pembelajar. Ia adalah Upacarika Candapajjoto Aninditacaro Anditya Restu Aji, sosok yang mungkin belum banyak dikenal publik, namun perannya sangat nyata dalam menjaga kerukunan dan membumikan ajaran Buddha di tengah masyarakat.

Anditya adalah seorang Upacarika, pemimpin upacara dalam tradisi Buddha Theravada, yang kini aktif melayani umat di Vihara Dharmawijaya Berbah, Sleman. Sebelumnya, ia juga pernah bertugas di Vihara Karangjati. Saat ini, ia terlibat aktif dalam Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) dan Permabudhi DIY, organisasi yang menjadi wadah persatuan umat Buddha di daerah.

“Perdamaian adalah inti dari ajaran Sang Buddha,”
ujar Anditya membuka sesinya dengan kalimat sederhana namun penuh makna.

Menurutnya, kedamaian bukan sekadar konsep spiritual, melainkan tujuan konkret yang harus diperjuangkan bagi seluruh makhluk. Kedamaian dapat dicapai dengan mengurangi tanha—keinginan duniawi yang berlebihan—dan membangun relasi yang dilandasi welas asih.

Menjadi Buddhis di Tanah Jawa

Anditya juga membagikan pengalaman pribadinya yang sangat relevan. Sebagai orang Jawa, ia sering disalahpahami. Banyak yang mengira bahwa penganut agama Buddha pasti berasal dari etnis Tionghoa. Bahkan tak jarang ia dianggap “tidak cocok” menjadi Buddhis karena latar belakang etnisnya.

“Padahal Buddha tidak mengenal batas etnis. Di Indonesia, umat Buddha berasal dari berbagai latar: Jawa, Bali, Batak, Dayak, dan lainnya,”
jelasnya dengan tenang.

Kisah ini mengingatkan saya bahwa identitas keagamaan tidak seharusnya dikungkung oleh stereotip.

Suasana Diskusi di Pendopo Gusdurian Yogyakarta (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Suasana Diskusi di Pendopo Gusdurian Yogyakarta (Sumber: Dokumentasi Penulis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun