Disini secara teori kemungkinan, argumennya jelas: tanpa Megawati, partai bisa terpecah. Sejarah politik Indonesia penuh contoh partai yang hancur karena perebutan kursi ketua umum.
Di sisi lain, dari perspektif teori demokrasi, ini menciptakan contradictio in terminis: nama resmi partai adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, namun sistem internalnya mengarah pada sentralisme kepemimpinan yang nyaris permanen.
Kesimpulan
Pragmatisme politik memandang ini rasional: Megawati adalah "lem perekat" yang membuat partai tetap solid di tengah badai politik nasional. Tetapi dari kacamata idealisme demokrasi, ini menjadi preseden yang berisiko: partai bisa membiasakan diri bergantung pada satu figur, bukan pada sistem.
Konsekuensi jangka panjangnya, regenerasi politik menjadi terlambat. Nama-nama seperti Puan Maharani atau Prananda Prabowo hanya berputar di orbit pusat, tanpa ruang kompetisi yang benar-benar setara.
Pertanyaan ala Filsafat Politik
Apakah stabilitas partai lebih penting daripada regenerasi kepemimpinan?
Atau, dalam jangka panjang, regenerasi adalah satu-satunya cara menjaga stabilitas sejati?
Bab II, Sekjen dalam Badai: Kasus Hasto dan Relasi Kekuasaan-Hukum
Hasto Kristiyanto memulai periode 2025-2030 sebagai Sekretaris Jenderal PDIP dengan catatan unik: ia baru saja melewati pusaran kasus hukum. Setelah Pilpres 2024, Hasto ditetapkan sebagai tersangka. Namun, situasi berbalik: ia memperoleh abolisi, lalu kembali dilantik sebagai Sekjen. Peristiwa ini memperlihatkan hubungan rumit antara kekuasaan politik, proses hukum, dan loyalitas internal partai.
Teori Filsafat Politik
Dalam teori rule of law (negara hukum), semua warga negara setara di hadapan hukum. Sebaliknya, dalam praktik rule by law, hukum dijadikan alat oleh mereka yang berkuasa untuk mencapai tujuan politik. Filsuf politik seperti Montesquieu menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan agar hukum tidak tunduk pada kepentingan politik sesaat.