7. Lembaga Kedinasan: Pabrik Mental Pelayan atau Raja?
Patut ditanya ulang: apakah lembaga-lembaga kedinasan kita masih mencetak pelayan publik atau justru raja kecil yang merasa dilayani? Jika sejak awal mental yang ditanam adalah elitisme dan kebanggaan atas seragam, bukan pelayanan dan empati terhadap rakyat, maka jangan kaget kalau kita menghasilkan aparatur yang kaku, jauh dari rakyat, dan alergi kritik. Seragam bukan lagi tanggung jawab, tapi perhiasan kekuasaan.
8. Seragam Gagah=Moral terjamin?
Tak sedikit kita temui mereka yang tampak gagah di balik seragam, tapi ringkih ketika dihadapkan pada etika. Korupsi jalan terus, kekerasan institusional masih terjadi, dan pelayanan publik tetap berbelit. Maka penting diingat: seragam bukanlah jaminan moral. Seperti kemasan nasi kotak: mewah di luar, belum tentu lauknya seimbang. Kadang kalah enak dibanding nasi bungkus biasa.
9. Frustrasi Sosial Gen Z?
Bisa jadi ini adalah gejala frustrasi kolektif Gen Z. Mereka hidup di tengah ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, gempuran digital, dan krisis identitas nasional. Ketika tak tahu harus bangga pada apa, seragam hadir sebagai solusi instan. Identitas dibeli lewat almamater dan badge, bukan lewat karya dan kontribusi.
Ada beberapa retorika klise soal mengapa SDM terbaik bangsa sekarang berebut agar tubuhnya ditempeli seragam-seragaman. Apakah agar terlihat terhormat? Jawaban mayoritas adalah: ingin mengabdi. Padahal, pengabdian dapat ditempuh melalui beribu cara dan sesuai proporsi- pencapaian nasing-masing. Di seberang sana, media sosial memberi banyak contoh bagaimana berkontribusi. Siswa selevel lulusan SMK di china/korea sudah bisa membanggakan. Mereka di tahap berfikir membuat start up, chip, dll.. lulusan terdidiknya lebih hebat lagi. Berpengaruh secara global.
Bagaimana kalau kembalikan saja pada alasan klasik seperti: lulus ASN akan cepat/mudah kaya. Ini lebih tidak realistis lagi. Mengapa? Apakah mungkin 5juta lebih ASN yang hampir diseragamkan penghasilannya, dibiayai kehidupannya sampai akhir hayat kemudian secara teori bisa menjadi kaya raya. Kecil kemungkinan bisa tercapai kecuali diberkahi peninggalan harta warisan. kaya-raya jalur cepat itu ya menjadi entrepreneur !! Bukan dengan budaya koruptif.
10. Wajar atau Bahaya?
Sebagian mungkin bilang ini wajar, hanya gaya ekspresi anak muda. Tapi ketika ekspresi itu mengarah pada pengultusan simbol tanpa isi, maka sistem pendidikan kita perlu alarm. Negara harus sadar bahwa membiarkan glorifikasi seragam tanpa kontrol makna adalah langkah menuju masyarakat kosmetik: indah di luar, kosong di dalam. Bayangkan bila sebagian mereka ketika menjadi pengemban amanah? bisa-bisa menjadi raja-raja baru yang gila hormat, haus pujian, apa-apa dilayani. Sebagian yang tersisih menjadi generasi rendah diri, etos kerja lemah dan gampang frustasi.
*Kesumpulan Penulis: Pendidikan Itu Bukan Panggung Defile