Mohon tunggu...
Rama Damenta Bangun
Rama Damenta Bangun Mohon Tunggu... Pelajar

.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Makan Gratis Dibayar Nyawa

3 Oktober 2025   22:59 Diperbarui: 3 Oktober 2025   22:56 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Makan seharusnya memberi hidup, bukan merenggutnya. Namun kenyataan di lapangan berkata lain: program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai penyelamat anak bangsa justru berulang kali menimbulkan korban. Dari keracunan massal hingga kasus tragis kematian siswa, realitas ini menyisakan pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah program yang diklaim mendukung pendidikan justru menjadi penghambat?

Dari nasi kotak ke rumah sakit
Beberapa bulan terakhir, pemberitaan nasional dipenuhi kasus siswa keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Ada yang pingsan di ruang kelas, ada yang harus dilarikan ke rumah sakit, dan bahkan ada kasus memilukan: siswa yang kehilangan nyawa karena makanan yang seharusnya bergizi.

Inikah harga dari kebijakan populis? Bukannya memberi tenaga untuk belajar, justru melumpuhkan. Bukannya mendukung pencapaian prestasi, malah membuat anak-anak absen dari kelas berhari-hari. Tujuan mulia mendukung siswa berubah menjadi ironi: makanan gratis yang mestinya memperkuat, malah memperlemah.

Makanan yang seharusnya menumbuhkan, justru menjadi racun yang mematikan aspirasi.

Ketika dukungan berubah jadi penghambat
Ironi terbesar dari program MBG adalah kontradiksi tujuannya. Pemerintah mengklaim ingin membantu anak sekolah mencapai potensi terbaik. Namun bagaimana mungkin potensi bisa tumbuh jika tubuh lemah, perut sakit, atau bahkan hidup terenggut karena makanan yang salah kelola?

Di sini, program yang dikatakan "mendukung" justru menjadi penghambat. Aspirasi siswa untuk belajar, bermimpi, dan berkembang tersendat karena mereka sibuk melawan efek samping makanan yang seharusnya menyehatkan.

Anak muda tidak hanya butuh nasi, mereka butuh kesempatan untuk menggapai cita-cita. Ketika kebijakan gagal menjamin kualitas hidup, yang mati bukan hanya tubuh, tetapi juga semangat dan harapan.

Program yang tidak mendengar suara siswa hanya melahirkan generasi pasif yang kehilangan mimpi.

Belajar dari ruang yang berbeda: turnamen pelajar
Kontras dengan realita pahit MBG, ada ruang lain yang justru menyuburkan aspirasi: turnamen pelajar yang setiap tahun mengumpulkan ratusan sekolah dan ribuan siswa. Ajang ini bukan hanya soal pertandingan bola, basket, atau lomba seni. Ia adalah laboratorium kehidupan.

Di sana, siswa bukan sekadar penerima, tetapi penggerak. Mereka menjadi panitia, pemimpin tim, wasit, pemain, sekaligus sahabat. Mereka belajar bekerja sama, berjuang, sportif, menerima kekalahan dengan lapang dada, dan merayakan kemenangan tanpa menghina lawan. Semua ini adalah "gizi jiwa" yang jauh lebih berharga daripada sekadar nasi kotak.

Lebih penting lagi, ajang ini memberi ruang bagi siswa untuk menunjukkan aspirasi mereka: mimpi menjadi atlet, pemimpin, seniman, atau organisator. Mereka tidak didikte dari atas, mereka diberi kebebasan untuk berproses. Sesuatu yang gagal diwujudkan oleh kebijakan MBG.

Progres, bukan sekadar proyek
Di sinilah perbedaan mendasar: program MBG adalah proyek, sementara ajang pelajar adalah progres. Proyek berorientasi angka, laporan, dan seremoni. Progres berorientasi manusia, proses, dan karakter.

Program makan gratis gagal karena tidak melibatkan anak muda dalam perencanaannya. Mereka hanya objek yang diberi makan. Sebaliknya, turnamen pelajar berhasil karena menjadikan anak muda sebagai subjek. Mereka dipercaya, diberdayakan, dan diberikan tanggung jawab nyata.

Jika kita ingin membangun bangsa, kita harus belajar dari prinsip ini. Jangan hanya memberi anak muda "nasi", tetapi berikan mereka ruang untuk mengolah hidupnya sendiri.

Program Makan Bergizi Gratis membuktikan bahwa niat baik saja tidak cukup. Ketika kualitas makanan buruk, distribusi timpang, dan aspirasi siswa diabaikan, maka kebijakan itu bukan lagi solusi, melainkan masalah baru. Bahkan nyawa bisa melayang karenanya. Bukankah ini tragedi yang seharusnya tidak terjadi di negeri yang mengaku ingin menyiapkan generasi emas?

Sebaliknya, ajang seperti turnamen pelajar menunjukkan wajah harapan. Di sana, anak muda bukan sekadar penerima, tetapi pencipta. Mereka berproses, berprogres, dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Itulah yang seharusnya menjadi teladan: bangsa ini tidak hanya butuh tubuh yang kenyang, tetapi juga jiwa yang sehat, karakter yang kuat, dan mimpi yang terus menyala.

Jika pemerintah benar-benar ingin mendukung siswa, jangan berhenti di proyek makan gratis yang setengah matang. Berikan pula ruang-ruang progres, tempat anak muda bisa ditempa untuk menjadi manusia yang magis---selalu berjuang menjadi lebih baik. Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak akan maju hanya dengan perut kenyang, melainkan dengan karakter generasi yang berani bermimpi dan berani mewujudkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun