Makan seharusnya memberi hidup, bukan merenggutnya. Namun kenyataan di lapangan berkata lain: program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai penyelamat anak bangsa justru berulang kali menimbulkan korban. Dari keracunan massal hingga kasus tragis kematian siswa, realitas ini menyisakan pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah program yang diklaim mendukung pendidikan justru menjadi penghambat?
Dari nasi kotak ke rumah sakit
Beberapa bulan terakhir, pemberitaan nasional dipenuhi kasus siswa keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Ada yang pingsan di ruang kelas, ada yang harus dilarikan ke rumah sakit, dan bahkan ada kasus memilukan: siswa yang kehilangan nyawa karena makanan yang seharusnya bergizi.
Inikah harga dari kebijakan populis? Bukannya memberi tenaga untuk belajar, justru melumpuhkan. Bukannya mendukung pencapaian prestasi, malah membuat anak-anak absen dari kelas berhari-hari. Tujuan mulia mendukung siswa berubah menjadi ironi: makanan gratis yang mestinya memperkuat, malah memperlemah.
Makanan yang seharusnya menumbuhkan, justru menjadi racun yang mematikan aspirasi.
Ketika dukungan berubah jadi penghambat
Ironi terbesar dari program MBG adalah kontradiksi tujuannya. Pemerintah mengklaim ingin membantu anak sekolah mencapai potensi terbaik. Namun bagaimana mungkin potensi bisa tumbuh jika tubuh lemah, perut sakit, atau bahkan hidup terenggut karena makanan yang salah kelola?
Di sini, program yang dikatakan "mendukung" justru menjadi penghambat. Aspirasi siswa untuk belajar, bermimpi, dan berkembang tersendat karena mereka sibuk melawan efek samping makanan yang seharusnya menyehatkan.
Anak muda tidak hanya butuh nasi, mereka butuh kesempatan untuk menggapai cita-cita. Ketika kebijakan gagal menjamin kualitas hidup, yang mati bukan hanya tubuh, tetapi juga semangat dan harapan.
Program yang tidak mendengar suara siswa hanya melahirkan generasi pasif yang kehilangan mimpi.
Belajar dari ruang yang berbeda: turnamen pelajar
Kontras dengan realita pahit MBG, ada ruang lain yang justru menyuburkan aspirasi: turnamen pelajar yang setiap tahun mengumpulkan ratusan sekolah dan ribuan siswa. Ajang ini bukan hanya soal pertandingan bola, basket, atau lomba seni. Ia adalah laboratorium kehidupan.
Di sana, siswa bukan sekadar penerima, tetapi penggerak. Mereka menjadi panitia, pemimpin tim, wasit, pemain, sekaligus sahabat. Mereka belajar bekerja sama, berjuang, sportif, menerima kekalahan dengan lapang dada, dan merayakan kemenangan tanpa menghina lawan. Semua ini adalah "gizi jiwa" yang jauh lebih berharga daripada sekadar nasi kotak.