Ada satu kalimat yang terkenal dari Tan Malaka, "idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda" kalimat yang seringkali dijadikan motivasi semangat bagi para kaum muda khususnya dari kalangan aktivis mahasiswa. Saya sendiri awalnya bingung kenapa Tan Malaka berpendapat seperti namun saya baru bisa memahami dan benar-benar merasakan kenapa hal tersebut istimewah setelah lulus dari kuliah.
Idealisme menjadi sebuah kemewahan sebab terkadang manusia dengan mudahnya menggadaikan idealismenya hanya untuk mendapatkan kemapanan. Apakah menjadi mapan itu salah? Tentu saja tidak! Namun cara-cara mendapatkan kemapanan itu yang terkadang salah. Misalnya dalam dunia aktivis, ada beberapa oknum yang sering kali bersuara berbicara membela rakyat pada siang hari namun menjadi pelacur kekuasaan di malam hari sebab pada malamnya sibuk deal-dealan harga untuk 'tidak mengganggu' rencana dari penguasa.
Sering kali juga ketika sudah memasuki dunia kerja beberapa orang terpaksa harus mengikuti arus pragmatisme dan mengubur dalam-dalam idealisme yang dia punya sebab jika dipaksakan dia tidak memiliki cukup kekuasaan. Misalnya dalam institusi yang korup ada kelakuan oknum pejabat yang menitip nama untuk perdin (perjalanan dinas) kepada bawahannya padahal dia tidak ikut namun tujuannya untuk mendapatkan uang saku dari perdin tersebut, bawahannya mungkin merasa ini hal yang sangat salah namun jika dia tidak melakukan hal tersebut mungkin itu bakal jadi perdin terakhir bawahan tersebut selama atasan yang menitip itu masih berkuasa.
Maka dari itu saya sangat kagum pada orang-orang yang mau konsisten terhadap idealismenya. Tidak semua orang dianugerahkan  keberanian dan konsistensi untuk terus merawat idealismenya. Dalam beberapa hal saya bahkan tidak bisa memahami secara logis mengapa orang benar-benar keras kepala dengan idealismenya bahkan itu membuat dia menderita dengan jalan terjal yang dia pilih.
Namun sering kali juga beberapa orang tetap konsisten dengan idealismenya namun orang tersebut dicap sebagai orang yang menggadaikan idealismenya. Misalnya pada aktivis yang berjuang mengadvokasi rakyat tertindas namun ketika aktivis tersebut memilih jalur politik praktis untuk mendapatkan kekuasaan kerap kali dikatakan bahwa dia menggadaikan padahal mungkin dia masih tetap konsisten berjuang untuk ide-idenya namun menempuh jalur yang lebih efektif dibandingkan caranya sebelumnya Bahkan menjadi idealis pun kerap kali mendapatkan tuduhan miring.
Terkadang juga ada orang-orang bebal dan pemalas yang berlindung dibalik kata idealisme padahal dia hanya orang yang pemalas yang tidak mau untuk keluar dari rasa malas dan bebal yang dia pelihara selama ini. Orang-orang semacam ini bukan idealis namun dia konsisten dalam kedunguan.
Sewaktu kuliah saya berpikir bahwa menjadi idealis itu gampang-gampang saja. Namun setelah saya ditampar bertubi-tubi dengan realita saya makin sadar itu sangatlah susah. Apa lagi jika kita dikasih tawaran mengenai uang dan jabatan maka beberapa orang tidak segan untuk langsung membuang jauh-jauh idealismenya tersebut. Mungkin karena inilah seorang Tan Malaka berpikir bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir pemuda sebab orang-orang menjadi tua biasanya sudah kehilangan idealismenya demi uang dan jabatan dan orang-orang yang tidak tergoda dengan uang dan jabatan tentu saja bakal merasa bahwa hal yang dia pertahankan mati-matian ini sangat jauh lebih penting dibandingkan hanya sekedar materi duniawi.
Kemewahan dari mempertahankan idealisme ini tentu saja dapat menjadi tolak ukur seseorang tersebut pasti memiliki integritas, keberanian, dan konsistensi. Orang-orang idealis tentu dia percaya bahwa hal yang dia pertahankan ini baik dan benar adanya sehingga dia rela berkorban sedemikian banyaknya untuk tidak tergoda untuk menggadaikan idealisme yang dia punya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI