Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sukrosono

12 Juli 2015   14:42 Diperbarui: 12 Juli 2015   14:42 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sukrosono yang sakti mondroguno, memiliki banyak kemampuan yang bisa mengantarkan Sumantri menapaki tangga menuju puncak kesuksesan dalam pangkat dan jabatan, pada akhirnya harus legowo, menyingkir di belakang, dilupakan atau tidak dikenal orang dan bahkan dikorbankan hanya agar tidak mengganggu kebanggaan dan kebahagiaan sang kakak, Sumantri, dalam menikmati kesuksesannya. Sebagai seorang anak bungsu dan minoritas dia harus sering mengalah sejak awal karena physical performance nya yang tidak enak dipandang.

Terkadang muncul rasa kasihan kepada Sukrosono, minoritas yang menjadi korban demi kebanggaan dan kebahagiaan sang sulung. Sebaliknya, hilang simpati kepada Sumantri yang terlalu jaim sehingga tidak mau mengakui sang adik yang telah banyak membantunya mencapai cita-cita. Tetapi itulah realitas yang sangat sering terjadi dalam kehidupan di sekitar kita. Sumantri, sebagaimana banyak manusia dalam kehidupan nyata, akhirnya melenceng dari tujuan, awalnya yang baik. Ambisi untuk mendapatkan pangkat, jabatan, kekuasaan atau bahkan kekayaan seringkali merubah watak manusia yang pada dasarnya baik menjadi cenderung tidak terpuji. Perubahan pada diri seorang manusia juga seringkali terjadi mendapatkan pangkat, jabatan, kekuasaan, akses birokrasi, kekayaan, kecerdasan, ataupun kesaktian. Dari sudut pandang agama, hal-hal tersebut bisa bisa dilihat sebagai ujian ataupun menjadi cobaan yang menyebabkan manusia mudah terseret untuk berbuat dosa/maksiat. Tidak heran jika kita diajari oleh guru agama atau ustadz (bagi yang beragama Islam) untuk mengucapkan “Innalillahi wainna ilaihi roijun” ketika kita mendapatkan anugerah pangkat atau jabatan yang lebih tinggi, sebagaimana yang kita ucapkan juga ketika kita mendapatkan musibah, karena pada hakekatnya kedua hal tersebut sama saja nilainya bagi manusia.

Kembali ke Sukrosono, lingkungan kita juga menyediakan sosok-sosok Sukrosono yang menjelma dalam kehidupan nyata manusia. Masih bisa kita jumpai manusia di sekitar kita yang lebih mengedepankan kasih sayang dan kerja keras tanpa diracuni oleh ambisi pribadi akan pangkat, jabatan maupun kekuasaan, walaupun jumlahnya semakin sedikit. Bagi mereka itu, sudah cukup apabila hidupnya bisa membawa manfaat untuk orang lain dan sebisa mungkin senantiasa membuat bahagia orang-orang yang dicintainya dengan sepenuh jiwa dan raga. Tetapi kepolosan dan kesederhanaan berpikir mereka yang seperti ini memang tidak jarang dimanfaatkan oleh orang-orang ambisius macam Sumantri dan kemudian dilupakan begitu saja, bahkan dikorbankan demi mempertahankan pangkat, jabatan ataupun kekuasaan dan kekayaan.

Semoga Sukrosono tidak menyesali takdirnya menjadi makhluk yang teraniaya. Dan semoga pula alam ini masih memiliki stock Sukrosono yang cukup banyak untuk bisa menjaga keseimbangan agar tidak goyang akibat semakin bertumbuh dan berkembangnya karakter Sumantri.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun