Mohon tunggu...
sekar A
sekar A Mohon Tunggu... Penulis - pemimpi

Active

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Anak Kota Pindah ke Kampung (Episode 6)

6 Juli 2019   11:57 Diperbarui: 6 Juli 2019   11:58 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memasuki bulan dimana murid kelas sembilan menghadapi ujian nasional. Banyak jadwal yang wajib diikuti hingga hari dimana mereka berperang tiba. Mulai dari jadwal les harian, berdoa bersama, belajar di kelas, hingga tidur saat guru tidak hadir. Huhhh ... jadwalnya padat juga. Ini baru jadwal sekolah yang super padat mengalahkan aktor film, belum lagi kalau nanti mereka kuliah sambil kerja. 

Semua itu baru persiapan menghadapi UNBK, itu belum termasuk persiapan menghadapi ujian praktek, daftar sekolah, ngurus ijazah, bantu mama masak, ngurusin adik, sama liburan lebaran nanti. Bahkan, ada satu kakak kelas yang hendak protes ke kepala sekolah karena memadati jadwal harian mereka. Tapi niatnya hanya di simpan di hati yang dalam hingga menyebabkan sakit hati berkepanjangan. Kalau protes, takut gak di-lulusin. Katanya gitu sih.

Aku, yang melihat jadwal harian mereka di sekolah dari pagi hingga matahari terbenam dari Senin sampai Sabtu, sungguh kasihan. Aku bukan mengasihani mereka, hanya saja aku mengasihani diriku. Duh ...! Kalau aku kelas sembilan mau gak mau nanti pasti kayak gitu. Hampir satu semester ini mereka memasuki puncak stres dan menyebabkan kegilaan yang tidak waras. Ihh ... serem ah! Melebihi film horor. 

Semoga saja, mereka lulus dengan nilai yang sempurna. Dengan begitu, kesehatan jiwa dan raga mereka terbayarkan. Minggu bukan waktunya untuk liburan. Hari itu, mereka latihan drama untuk ujian praktek mendatang. Drama mereka bahkan terdiri dari empat mata pelajaran yang akan dinilai. Bahasa Inggris untuk dialog, Bahasa Indonesia untuk ekspresi wajah, Bahasa Jawa untuk penepatan panggung, dan Seni Budaya untuk arasemen lagu. 

Jadilah drama musikal tiga bahasa yang harus mereka pentaskan untuk ujian praktek empat mata pelajaran itu. Itu baru empat mata pelajaran sobat, masih ada beberapa mata pelajaran yang harus mereka lalui dengan menguras tenaga dan otak.

Seminggu sebelum UNBK tiba, sekolahku mengadakan acara istighosah bersama di lapangan seperti di sekolah sekitarnya. Mulai dari yang muda sampai yang tua turut hadir di acara ini. Bakan kelas tujuh dan delapan wajib mengikuti rangkaian acara. Istighosah kali ini, Kepala Sekolah mengundang seorang Ustadz ternama yang berasal dari Temboro. Pagi jam delapan, acara ini dibuka oleh Kelapa Sekolah langsung dihadapan kami semua dilanjut dengan Ustadz Ali (anggap saja namanya) beserta doa-doanya. 

Awalnya berjalan lancar, eh ... di tengah jalan ceramahnya pakai Bahasa Jawa. Si Ustadz itu memang membawa ceramah yang tidak monoton. Hampir semua yang mendengar tertawa terbahak-bahak mendengar leluconnya. Kayak lagi nonton drama komedi gitu lho. Aku ikut tertawa walaupun sejatinya aku tidak tahu apa yang dia katakan. Yaa ... biar gak beda sama yang lain sih. Bayangin, kalian nonton drama komedi, tapi gak tahu bahasanya, dan karena itu, kalian sendiri yang tidak tertawa. Disitulah aku merasa dikucilkan seorang diri diantara bahagianya tawa geli orang-orang bak cacing kepanasan. 

Lihat deh! temen-temen aku kayaknya seneng banget dengar lelucon dari si Ustadz sampai-sampai ada yang lari ke toilet kebelet buang air kecil. Kayaknya aku cuma seorang diri yang tertawa terpaksa. Ampun ... bisakah Ustadz membawa ceramah pakai Bahasa Indonesia gitu. Kan enak, jadinya. Mereka juga bakal mengerti kalau Ustadz ceramah pakai bahasa pemersatu. Karena tidak mau membohongi diri sendiri, aku hanya tersenyum saja sambil mendengarkan ceramah yang tidak ku mengerti. Kebingungan mencari arti, dengan seyuman keterpaksaan.

Akhirnya, ceramah non-terjemah itu selesai meninggalkan tawa bahagia. Dari awal aku benar-benar tidak mengerti isi ceramah itu. Aku hanya bisa meninggalkan seyum terpaksa yang menghiasi wajah. "Ustadz Ali iku, nyindir wong keras pol! (Ustadz Ali itu, kalau nyindir orang kerasnya minta ampun!)" ujar salah satu temanku. "Iyo, aku lho kesindir. Jan Ustadz'e pinter nyindir (iya, aku lho kesindir. Bener-bener Ustadznya pintar nyindir)" timpal salah satunya. 

Aku cuma dengerin tanpa tahu isi semua pembicaraan yang diucapkan. Jadi gini ya, rasanya berbeda bahasa dari yang lain.  Tapi gak apa-apa lha! Berani beda itu hebat! Melebihi para superhero dengan kekuatannya.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun