Mohon tunggu...
raka saputra
raka saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. -J.K. Rowling

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apakah Pesantren Menjadi Tempat Pembelajaran Agama, atau Tempat Predator Seksual Berkedok Agama?

10 Juni 2025   16:57 Diperbarui: 10 Juni 2025   16:57 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dampak Spiritual: Krisis kepercayaan terhadap agama dan figur otoritas keagamaan Dampak Sosial Kasus ini juga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap institusi pondok pesantren secara umum. 

Hal ini dapat merusak reputasi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang aman dan terpercaya. Upaya Pencegahan dan Perlindungan Sistem Pengawasan yang Ketat Pondok pesantren perlu mengimplementasikan sistem pengawasan yang ketat terhadap interaksi antara pengajar dengan santri, termasuk adanya protokol clear boundaries dan sistem pelaporan yang aman. Pendidikan tentang Consent dan Body Autonomy Santri perlu diberikan pendidikan tentang consent (persetujuan) dan body autonomy (otonomi tubuh) agar mereka dapat mengenali dan melaporkan tindakan yang tidak pantas. Pelatihan untuk Pengajar dan Staff Semua pengajar dan staff pondok pesantren perlu mendapatkan pelatihan tentang child protection, professional boundaries, dan tanda-tanda abuse. Whistleblower Protection Perlu ada sistem perlindungan bagi individu yang melaporkan kasus pelecehan, seperti yang dilakukan oleh guru , untuk mendorong pelaporan dan mencegah culture of silence.

Rekomendasi Untuk Institusi Pendidikan Mengembangkan kebijakan child protection yang komprehensif Melakukan background check yang ketat untuk semua staff dan pengajar Menyediakan pelatihan regular tentang professional boundaries Mengimplementasikan sistem pelaporan yang aman dan confidential Melakukan supervision dan monitoring yang ketat Untuk Pemerintah Memperkuat enforcement terhadap undang-undang perlindungan anak Meningkatkan kerjasama antara Kementerian Agama, Kepolisian, dan lembaga perlindungan anak Menyediakan program rehabilitasi dan konseling untuk korban Mengembangkan program awareness tentang child protection di institusi pendidikan keagamaan Untuk Masyarakat Meningkatkan awareness tentang tanda-tanda child abuse. Mendukung korban dan tidak melakukan victim blaming Mendorong culture of reporting daripada culture of silence Melakukan advocacy untuk perlindungan anak yang lebih baik. 

Kesimpulan 

Saatnya Reformasi Total Sistem Perlindungan Anak Kasus pelecehan seksual yang terjadi di pondok pesantren Serpong bukan sekadar "kasus terisolasi" – ini adalah alarm peringatan bahwa sistem perlindungan anak di institusi keagamaan telah gagal total. Dengan 8.674 anak yang mengalami kekerasan seksual pada 2024 saja, kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa masalah ini bisa diselesaikan dengan pendekatan "case by case". dengan realita yang Harus Dihadapi Data menunjukkan bahwa 86% dari 28.831 kasus kekerasan anak tahun 2024 dialami oleh anak perempuan. Ini bukan kebetulan ini adalah hasil dari sistem patriarki yang sistemik dan kultur abuse of power yang telah mengakar. Respons dari guru  yang berani melaporkan kasus ini patut diapresiasi dan menjadi contoh bagi yang lainnya. Namun, respons pimpinan pondok pesantren yang terkesan mengabaikan masalah ini menunjukkan betapa dalam dan sistemiknya culture of silence dalam institusi pendidikan keagamaan. muncul pertanyaan, Jika tempat yang seharusnya paling suci dan terlindungi justru menjadi sarang predator, di mana lagi anak-anak kita bisa merasa aman? Jika figur yang paling dihormati dan dipercaya justru menjadi ancaman terbesar, siapa lagi yang bisa kita percayai untuk melindungi generasi masa depan kita?. Saatnya kita berhenti bersikap defensif dan mulai mengakui bahwa ada yang fundamentally wrong dengan sistem kita. Saatnya kita menuntut transparansi total, accountability yang ketat, dan reformasi menyeluruh dalam sistem perlindungan anak di semua institusi pendidikan, terutama yang berbasis agama. Korban dalam kasus ini berhak mendapatkan keadilan, perlindungan, dan pemulihan yang komprehensif. Sementara itu, pelaku harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku tidak ada pengecualian, tidak ada "pertimbangan khusus" karena status atau posisi sosial. Akhirnya Kasus ini menjadi momen truth bagi kita semua. Akankah kita terus membiarkan institusi-institusi "suci" menjadi safe haven bagi predator, atau akankah kita berani melakukan perubahan radikal demi melindungi anak-anak kita? Pilihan ada di tangan kita. Dan pilihan itu harus dibuat sekarang sebelum ada 13 santriwati lagi yang menjadi korban, sebelum ada 8.674 anak lagi yang kehilangan masa kecilnya karena kelalaian kita dalam melindungi mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun