Mohon tunggu...
Raka Putra Pratama
Raka Putra Pratama Mohon Tunggu... Aktris - Aktivis Mahasiswa

Pemikir - Pejuang | Peminat Aspek Sosial dan Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

DO Sepihak terhadap Mahasiswa Unkhair Ternate yang mengikuti Aksi Pro-Papua Barat

4 Februari 2020   09:24 Diperbarui: 4 Februari 2020   09:23 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

   Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang diperuntukan untuk masyarakat yang mengenyam pendidikan atas. Sejatinya, perguruan tinggi bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Membentuk manifestasi kecerdasan masyarakat yang humanis, dan mengedepankan fungsi sosial . Namun, dalam praktiknya peguruan tinggi ini sering djadikan alat politik, terutama Peguruan Tinggi Negeri . Hal ini jelas karena Peguruan Tinggi Negeri  berada di bawah naungan pemerintah , birokratisasi, hierarki, sangat terikat stuktur politik. 

Mahasiswa  sebagai kaum intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dituntut untuk berpikir kritis . Tentunya kritisasi mahasiswa sangat diperlukan sebagai kontrol sosial terhadap isu dan fenomena sosial . Seringkali kebebasan akademis untuk berpikir kritis para mahasiwa di lingkungan kampus bersebrangan dengan kepentingan politik para elit pemerintah. Hal inilah yang menjadi polemik di perkampusan.

    Salah satu yang dapat kita rujuk dari kalimat di atas adalah, kasus drop out sepihak yang dilakukan oleh pihak rektor Universitas Khairun Ternate . Hal ini terjadi dikarenakan hanya mahasiswa mengikuti aksi pro-Papua. Mahasiswa Unkhair yang mengikuti aksi tersebut terdiri dari Arbi, Ikra, Fahyudi, dan dan Fahrul. Keempatnya tergabung dalam bagian Front Rakyat Indonesia West-Papua ( FRI-WP ). 

Aksi yang dilakukan di depan kampus Muhammadiyah Maluku Utara pada 2 Desember 2019. Aparat datang untuk membubarkan aksi tersebut dan membawa 10 orang ke Kapolres Ternate dan menahannya selama 24 jam lebih. Pihak kampus Unkhair mengetahui hal tersebut, tepatnya pada tanggal 12 Desember 2019 Kapolres Ternate memberitahu pihak kampus atas aksi pro-Papua. Tidak lama setelahnya ,Surat Keputusan atau SK drop out dikeluarkan oleh pihak kampus dan di tandatangani oleh Rektor Unkhair , Husen Alting dengan dengan nomor 1860/UN44/KP/2019 .

    Tentu saja hal ini menuai kontra dikalangan mahasiwa yang katanya dituntut berpikir kritis, dan memiliki kebebasan akademis. Kebebasan akademis ? cukup menjadi lelucon apabila dua kosa kata ini disandingkan dengan kasus di atas. 

Menanggapi hal ini pada tanggal 20 Desember 2019, aksi penolakan DO sepihak terhadap empat mahasiswa Unkhair ini terjadi di kalangan aktivis berbagai daerah ,khususnya di Unkhair itu sendiri. Ada tiga tutuntan yang diminta mahasiswa Unkhair saat aksi penolakan. Pertama, meminta surat SK DO dicabut, kedua meminta agar pihak kampus berhenti mengintervensi hak politik mahasiswa, ketiga menuntut agar pihak kampus berhenti mengakomondir Kapolres Ternate. Hal ini ditanggapi dengan sebelah mata oleh pihak kampus, alasan bahwa hal tersebut menganngu kepentingan dan nilai bangsa, apalagi menyangkut soal Papua merdeka . Wakil Rektor Bidang Kemahasiwaan Unkhair mengklaim bahwa mahasiwa Unkhair seharusnya patuh terhadap kampus dan mau dibimbing atas yang mahasiwa jalani. Pernyataannya keliru, secara eksplisit pihak kampus mendikte pandangan politik mahasiswa khususnya tentang Papua . Ironis hal ini dinyatakan oleh pengurus kampus yang memiliki latar pendidikan tinggi . Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, perlahan-lahan secara transformatif  berubah menjadi pendidikan sebagai kepentingan politik .

    Hal ini merupakan penyelewengan tentang kebebasan akademis dan hak berpolitik mahasiswa. Mahasiswa yang dituntut untuk berpikir kritis telah direduksi kecerdasannya oleh kepentingan politik. Bagaimana mahasiswa dapat menjalankan hak politiknya, jika aksi bela Papua saja  masih dikencam secara represif oleh pihak kampus, dan pemerintah . 

Memang secara politik kenegaraan tindakan mahasiswa ini menyeleweng dari kaidah nasionalisme, akan tetapi secara hak berpolitik dan humanisme yang berlandaskan kaidah intelektual tindakan ini merupakan tindakan sosial rasional . Pihak pengurus kampus keliru atas dilakukannya DO sepihak terhadap mahasiwa Unkhair, hal ini telah melanggar UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi " Dalam pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan" bahkan tambahnya dalam Pasal 3 seharusnya pihak kampus memfasilitasi hal tersebut.  

    Stukturasi kepentingan politik di perguruan tinggi yang bersifat bebas secara akademis ini semakin menggerogoti mahasiwa, terutama kalangan aktivis. Terjadinya dialektika antara pihak pengurus kampus dan aktivis mahasiwa semakin intens terjadi .Mahasiswa yang seharusnya memiliki hak politik menjadi terganggu atas kepentingan politik para elit birokrat . Tidak hanya itu, serinhgkali aparat keamanan yang represif mengintervensi kebebasan akademis mahasiswa. Hal yang keliru apabila aparat masuk ke kampus untuk mencampuri urusan politik mahasiswa. Interaksi dialektis antara birokrat, aparat, dan mahasiwa tentang kebebasan berpolitik mahasiswa seakan tidak ada habisnya . Sejatinya, ini merupakan fenomena sosial dalam negara demokrasi yang menghendaki kebebasan politik secara teori, namun pudar dan menyeleweng secara praktik . Mahasiswa yang dalam usia sedang idealis-idealisnya dengan cerdas mengkritisi secara standarisari intelektual tentang kebijakan-kebijakan keliru para birokrat , walau terkadang para mahasiswa harus melakukan mekanisme pertahanan diri atas tindakan rasional yang dilakukannya tersebut.

    Dualisme antara kebebasan akademis dan kepetingan politik para elit yang terjadi atas kasus-kasus tentang Papua merdeka ini menjadi dialektika . Para elit sebagai pihak yang mencetuskan thesa tentang kedaulatan negara dan mahasiswa sebagai pemeran anti-thesa atas premis tentang hak Papua untuk merdeka melahir sinthesa Papua merdeka atau tetap di bawah NKRI ? hal ini menjadi dikotomi atas kasus-kasus tentang Papua. Para aktivis mahasiwa asal Papua  dan luar Papua tidak diam tentang hal ini , mereka menuntut kemerdekaan pulau mutira

hitam tersebut. Namun, seakan sia-sia atas  tindakan rasional yang mereka lakukan. Di manakah letak sebuah kalimat kemerdekaan adalah hak atas segala bangsa, oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusian dan pri keadilan ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun