Mohon tunggu...
Rajif Duchlun
Rajif Duchlun Mohon Tunggu... -

Lahir dan dibesarkan di Halmahera-Indonesia. Writer! Escribir como lo banyal. Ficción y No Ficción.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Caka

12 Agustus 2014   00:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:48 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka menyebut kamu Caka. Ketika salawaku dan parang beradu bersama gema tifa. Kamu angkat parang pasang mata awas, salawaku serupa perisai yang siap menghantam lawan. Mereka menyebut kamu Caka. Ketika seutas roh telah menembus ke dalam dada. Kamu memang percaya, teriakan Aulee hendak ditembakkan ke cakrawala, maka darah berbulir-bulir, terhambur di atas tanah...

Bunyi tifa sudah diadu. Setelah seminggu tertidur di tanjung, aku seperti diundang ke sebuah pesta. Gema itu bertalu-talu, serupa pagelaran atau perayaan. Aku tertegun sejenak, sebelum nantinya aku menuju ke tubuh kamu. Semakin ramai kulit tifa itu dihantam, aku merasa semakin panas. Lalu, aku tersenyum, sebuah parang dan salawaku diantar bersama letupan irama gong yang membuat aku harus kuat di dalam tubuhmu. Sampai nanti ada mata yang berisi dendam, aku akan menyerangnya, menerkamnya, dan berteriak: Aulee.

“Siapa sebenarnya dia yang masuk dalam tubuhku, Mama?”

“Dia adalah Caka, yang turun-temurun menari dan berperang bersama keluarga.”

“Bisakah aku melihatnya?”

“Belum saatnya, Dero.”

Jika nanti gema tifa tersiar sampai ke tanjung, aku akan datang lagi. Sebagaimana Caka yang Mama bilang, aku sesungguhnya telah hidup bersama kalian semenjak perang sering pecah di Halmahera. Dulu, itu dulu sekali. Sejak Maluku di bawah arahan orang Belanda, aku dan Caka-caka yang lainnya telah berjanji, dan terus membangun kesepakatan untuk masuk dalam tubuh orang pribumi. Kami melakukan itu, semata-mata, karena kami mengerti, tombak alami dan bambu runcing tak akan mampu menyikut desing peluru dan dentuman bom yang dimiliki bangsa-bangsa asing.

“Lalu, apa alasannya Caka bisa masuk dalam tubuh seseorang?”

“Karena Caka telah ada sejak manusia ada.”

“Maksud, Mama?”

“Caka itu roh yang sewaktu-waktu bisa membantu manusia.”

Sejak itu, ketika perang selalu memukul mundur orang-orang pribumi, ketika segerombolan anak-anak yang kehilangan rumah harus lari ke hutan, aku dan Caka-caka itu harus terus berada dalam tubuh mereka. Kami akan menjadi bayangan tipis, membentuk diri semacam karet, lalu masuk ke dalam sepasang mata yang merah. Kami akan bermukim di jantung, berdiam di dalam, dan berusaha menggandakan kekuatan. Di sinilah, sebuah parang bisa terbang dan menebas batang leher orang-orang asing.

Kami juga bisa berpindah ke paru-paru. Jika nanti orang-orang pribumi diserang, maka kami pun mendorong tubuh mereka agar terjun ke dalam laut. Maka mereka akhirnya berenang dan bernapas seperti ikan. Setiap kali perang dan baku tembak pecah, aku dan Caka-caka itu akan terus melawan, membantu tubuh pribumi yang payah persenjataan.

“Tapi kenapa Caka itu terlihat jahat?”

“Iy, Nak. Kalau tidak jahat, orang-orang asing pasti tidak menyerah.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Caka datang bersama para moyang melawan penjajahan dengan cara gaib.”

Kamu tertegun. Aku memang harus jahat. Desing peluru dan letupan bom saat itu jika tidak dilawan dengan keras maka kalian—sampai turun-temurun pun tidak akan bisa mencicipi sagu. Tidak mungkin hidup kalau tanpa Caka, tanpa aku—waktu itu. Kamu perlu menjalankannya saja, aku tidak akan berlama-lama dan membuat tubuhmu sakit, sebab aku juga mafhum, saat ini aku tak perlu bersusah payah dalam tubuhmu. Kenyataannya sudah tak terdengar lagi bunyi senapan.

“Lalu Caka itu kenapa sudah berkurang? Mengapa harus aku tempat bersemayam para Caka?”

“Papa kamu.”

“Ya, Papa kenapa, Ma?”

“Papa, dulu suka meminta Caka menjaga keluarga-keluarganya. Dulu, saat tetangga jatuh sakit, Papa dengan cepat membantunya. Caka memang tidak bisa mengobati, tapi bisa membantu Papa berlari secepat kilat ke Rumah Sakit.”

Kamu tertegun. Dahi sudah berkeringat.

“Begini, Dero... Caka sekarang sudah banyak yang ditinggalkan. Mungkin mereka sadar kalau perang sudah habis dan tak ada lagi siksaan untuk pribumi.”

“Benarkah? Andai perang terjadi?”

“Tidak soal, ‘kan sudah ada tentara. Tapi Caka, tentu masih berada dalam diri seseorang.”

“Maksud Mama?”

“Caka akan terus ada dalam diri keluarga kita, meski tak ada peperangan. Karena setiap pukulan tifa di tanah ini bertanda kita sedang mengundang Caka untuk bersemayam dalam diri kita.”

Ya, benar Dero. Aku akan bermukim saat gema tifa ditabu laiknya musik yang mendendang. Aku sekarang memang mengerti, ribuan tahun yang lalu tentu amat berbeda dengan saat ini. Aku mesti belajar hidup di dalam tubuh seseorang, termasuk kamu. Tidak sembarang memberontak atau menerkam lawan-lawan. Aku sadar, pada setiap kali letupan gong, aku masih melihat ada mata yang berisi amarah dan dendam. Aku tak suka itu. Caka-caka yang lain juga pasti marah dan ingin menyerang.

Namun, setiap Caka pasti punya definisi. Kami punya visi saat bermukim dalam tubuh seseorang. Serupa permainan anak-anak, tentunya. Dulu, selalu begitu sebenarnya. Kami selalu terbang ke dalam mata manusia. Kami kemudian bermain-main dengannya. Orang-orang sekampung sontak menghambur ke arah kami, ke arah tubuh yang kami tinggal. Aku, apalagi. Aku paling suka memberontak saat melihat ada gerakan yang ingin melawan. Siapapun dia, aku akan hadang, hantam sampai nanti ada yang kalah.

Begini, Dero. Sebelum kamu bertanya jauh tentang eksistensi Caka, tentang aku. Sebaiknya aku bercerita dulu kepadamu, sebagaimana pesan yang pernah aku buat bersama Papa. Aku sadar, meski saat ini aku harus bercakap dalam kegelapan, berbincang dengan kesunyian, dan menyampaikannya lewat bayang-bayang. Namun, aku tidak punya pilihan lain—selain menarikmu ke sebuah perjalanan yang kamu sendiri belum pernah melewatinya.

Hari sudah malam. Sebaiknya, kamu tidur dulu. Itu saja!

***

Aku tidak menyangka apa yang aku lihat saat ini. Di sana, ada bayangan tebal, serupa menara tapi bukan besi. Itu manusia tanpa mata dan mulut. Tubuhnya tinggi, hampir menembus langit. Dia tak punya wajah, hanya suara yang sesekali terisak. Lalu, tertawa, dan akhirnya terisak lagi. Itu Caka, seperti yang Mama bilang tempo itu. Kita tak akan bisa menebaknya dalam nyata. Caka hanya akan tiba dalam sunyi dan mimpi-mimpi seseorang.

Lihatlah, aku bisa melihat Caka. Mereka seperti segerombolan bayangan yang bisa mengubah dirinya bak kepompong. Tiba-tiba menjadi kecil, tiba-tiba menjadi besar. Caka yang paling sudut sana malah suka mencabut tangannya berkali-kali. Seantero lapangan disesaki para Caka berkulit karet. Mungkinkah mereka adalah Caka yang sering hidup dalam tubuhku. Aku semakin tak mengerti. Di sini semua orang melakukan gerakan dan badannya seperti dalam adegan film-film karton.

Tunggu dulu! Aku tak melihat gedung-gedung seperti arsitektur kota. Mengapa hanya ada lapangan dan sebuah panggung semacam arena bermusyawarah para raja. Itu! Itu benar-benar mirip bendera keraton yang pernah aku lihat sebulan lalu di lemari Papa. Bendera berwarna kuning dan bermotif parang dan salawaku.

Tiba-tiba sebuah bayangan lebat melesat-lesat, mengibarkan bendera serupa pemain yang merayakan kemenangan. Aku melihat Caka yang lain bersorak-sorai, menyumbang gelak tawa dan haru sampai ada yang terjatuh berkali-kali.

Lalu, di sana, di sekeliling panggung, ribuan orang berwajah asing tergeletak tak berdaya. Di tubuh mereka menyemprot darah, dan terhambur ke tanah. Ada yang berteriak kesakitan, tak menahan luka dan sisa peluru yang bersarang dalam tubuhnya. Kemudian, para Caka menengadah, mereka mengunyah mantera dan berhasil menggandakan dirinya menjadi bayangan. Sekonyong-konyong, orang-orang yang seperti baru pulang perang itu berdiri tegap. Mereka sembuh dan tertawa girang.

Aku terkejut, setelah sebuah bayangan menuju ke arah tubuhku. Aku hampir tak bisa menebak garis wajahnya. Ia mendekat, dan semakin mendekat. Yang aku dengar hanya suara, semacam pesan tapi belum jelas maksudnya.

“Setiap datang tamu, jagalah mereka. Setiap orang sakit, bantulah mereka. Setiap perang itu pecah, ikutlah marah. Tapi, bukan! Bukan perang saudara.”

Dan basah. Wajahku basah, tapi bukan darah. Ini air dari Mama, yang menyiram wajahku karena aku mengigau tak karuan. Aku hanya mimpi.

***

Jadi begitulah, Dero.

Aku memang hanya akan bisa menjelaskan lewat kegelapan, dan tak sanggup membuatmu mengerti sedalam-dalamnya. Aku dan Caka-caka itu sejujurnya tidak selalu jahat seperti Caka di ujung kampung yang sering disembah-sembah. Aku adalah Caka yang akan datang saat perang melawan penjajah. Aku adalah Caka yang bersedia menari saat tiba para tamu sebangsa. Kami di dalam tubuh tidak sekedar memanah musuh, tapi juga suka bermain-main dengan siapa saja.

Sudahlah. Pergi dulu, ikut Mama. Katanya, hari ini kamu akan naik pentas di sebuah acara penyambutan tamu-tamu dari Jakarta. Tentu kamu harus ingat, mereka bukan penjajah. Anggap saja mereka tamu sebangsa dan menarilah seperti mengingatkan mereka pada masa lalu, di mana aku pernah terjun dalam peperangan dan genangan air darah. Pergi dulu, ikut Mama, aku akan bersiap masuk dalam tubuhmu.

Menunggu sejam memang membosankan. Aku baru sadar setelah teriakan Aulee menggelegar dan menembus ke jantungmu. Sungguh, mendengar teriakan ini disertai pukulan tifa dan bunyi gong membuat aku ingin memberontak. Menarilah Dero, maka aku akan merasakan kemarahan. Bergerak lebih kuat lagi Dero, maka aku akan semakin ingin mengamuk. Ikutlah irama itu dan pasang mata tajam, jangan sampai ada yang menyerang kemarahanmu. Aku akan menggandakan kekuatanku ketika mendengar orang-orang berseru: Cakalele. Caka yang lele setiap mendengar letupan gong.

Awas! Pegang kuat-kuat salawaku dan parang. Lihatlah, di depan sana, dihadiri para tamu yang anggun dan juga memiliki pangkat yang tinggi. Jangan sampai parang jatuh, orang-orang bisa curiga Caka hanya kepalsuan, atau marah dan meninggalkan tubuhmu. Bergetarlah tubuhmu, aku akan berkeras menjaga irama ini. Mendekatlah ke arah tamu, dan tatap mata mereka. Menarilah dengan tangguh, Dero.

Sampai nanti tifa tak menggema aku akan berhenti mengamuk.

“Mama, selama menari, aku sungguh merasakan seperti tak menginjak tanah,” katamu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Itu Caka yang sedang mengamuk. Biarkan amukan Caka dalam tubuhmu, karena kalau nanti ia sudah tak mengamuk, maka kita tak akan pernah lagi menyaksikan tarian tanah asal, tarian Caka yang lele.”

***

Aku sudah hampir jarang mendengar cerita tentang Caka. Setelah sekian tahun berlalu, orang-orang di sini lebih berasa nyaman dengan irama pop asal dendangan Eropa. Mama, mungkin setelah kepergianmu, barulah aku sadar, kita sesungguhnya hilang identitas saat pesan tetua dan denyut tifa hanya serupa pajangan di dalam kamar.

Tapi, Mama harus bangga, sebab aku sampai saat ini masih mendengar hentakan kaki dan irama gong bertalu-talu di sudut malam. Kali ini bukan mimpi. Di sini, di atas tanah ini, aku melihat puluhan Caka bergunjing tentang manusia. Mereka berkumpul berupa bayangan yang menari dalam kegelapan. Lihatlah, hanya karena sebuah pesan, mereka para Caka memilih memainkan parang dan salawaku tanpa bantuan tangan manusia.

Aku tertegun.

Di sebuah tanjung, Caka dan Mama memukul tifa dan gong. (*)

Jailolo-Halmahera, Juni 2014

Catatan:

Aulee : Darah mengalir.

Caka : Semacam roh yang diyakini adalah syaitan dan jin

Cakalele : Budaya atau tarian asal Indonesia Timur yang dilakukan saat menyambut para tamu dan mengobati orang sakit. Dulu untuk peperangan.

Lele : Mengamuk, Marah, Memberontak.

Parang : Pedang buatan masyarakat timur.

Salawaku : Perisai yang dipakai saat sedang melakukan tarian Cakalele. Terbuat dari bahan kayu.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun