Saya tidak pernah merasakan masa kejayaan Kompasiana seperti yang banyak ditulis oleh kompasianer senior. Meski tercatat di profil, saya bergabung di Kompasiana mulai tahun 2013, saya nggak benar-benar aktif menulis di platform ini.
Selain karena pekerjaan yang menyita waktu, saya juga mengelola dua blog pribadi yang juga butuh waktu dan perhatian khusus. Alhasil, ya frekuensi menulis saya sekenanya saja. Bisa aktif banget, lalu kemudian bisa tiba-tiba hilang begitu saja.
Saya baru menghasilkan 272 tulisan (termasuk tulisan ini) dalam jangka waktu 146 bulan. Itu artinya, kalau dirata-ratakan, saya hanya menulis 1,86 artikel per bulan. Dua artikel saja tak mampu, ya Tuhan. Nggak ada apa-apanya dibanding pejuang K-Rewards yang bisa menghasilkan lebih dari 150 artikel/bulan.
AU pertama, bukan karena kirim oleh-oleh
"Selamat AU Mas". Kira-kira itulah komentar yang pernah bikin saya bingung. Kok, artikel saya tentang perjalanan mudik saya ke Sumatera Utara, dikomentari soal "Angkatan Udara".
Oh, belakangan saya tahu, ternyata artikel tersebut terpilih admin sebagai "Artikel Utama" atau "Headline". Bangga? Biasa saja sih. Karena waktu itu saya kurang paham apa pentingnya sebuah label, selain bisa mendongkrak traffic tulisan.
Seiring berjalannya waktu berkecimpung di platform ini, barulah saya sedikit paham bahwa persoalan label saja bisa memicu dinamika yang tiada hentinya.Â
Oia, dari AU pertama sampai ke AU ke-94, saya nggak pernah kirim oleh-oleh ke admin. Walau artikel AU pertama saya itu soal perjalanan dan saya pulang bawa oleh-oleh banyak banget.
Ah, apakah sebetulnya itu kode dari admin, makanya tulisan perjalanan dinaikkan sebagai AU pertama. Saya kurang peka sekali rupanya, maafkan!
Tapi kalau hanya karena oleh-oleh, nggak mungkin dong ada AU hingga ke-94.
Dan ini benar, saya tidak kenal admin. Jangankan kenal, mampir ke markas mereka saja saya tidak pernah. Dengan sesama kompasianer pun, boleh saya bilang tidak ada satu pun yang saya kenal secara personal.