Pernah merasa nonton film Indonesia seperti buka katalog peran tetap? Maksudnya begini! Si A pasti jadi preman, si B langganan jadi ibu menangis, si C lagi-lagi jadi cewek miskin berhati mulia?
Dalam dunia perfilman fenomena tersebut dikenal dengan istilah "typecasting". Istilah ini merujuk pada kecenderungan industri untuk memilih aktor berdasarkan peran yang sudah melekat pada diri mereka.
Kalau sudah pernah jadi ustaz di satu film religi, besar kemungkinan akan jadi ustaz lagi di film berikutnya. Atau kalau sudah cocok jadi preman di satu film thriller, akan sangat mungkin jadi preman lagi di film-film selanjutnya.
Typecasting dari sisi industri
Saya kira bukan hanya saya saja yang menganggap kalau Fedi Nuril adalah aktor spesialis poligami. Semenjak booming karakter Fahri yang ia perankan dalam Ayat-Ayat Cinta (2008), kemudian dilanjut dengan karakter Mas Pras di Surga yang Tak Dirindukan (2015), boleh jadi Fedi Nuril berada di daftar nomor 1 para produser yang akan membuat tema serupa.
Soalnya, dari kacamata produser, fenomena typecasting ini sangat menguntungkan karena terbilang praktis. Ibarat kata, penonton sudah kenal, aktor sudah hafal, dan sutradara tinggal bilang "kayak kemarin aja ya". Hehe.Â
Ketika seorang aktor sudah dikenal sebagai "preman bertobat" atau "ibu mertua galak" misalnya, penonton langsung tahu apa yang akan mereka dapatkan. Tidak perlu repot membangun karakter dari nol atau menjelaskan latar belakang emosional yang rumit, semuanya sudah tertanam di benak publik.
Hal ini mempercepat proses produksi, mengurangi risiko salah casting, dan membuat promosi jauh lebih mudah. Sesederhana pembuatan poster film yang cukup menampilkan wajah si aktor dengan ekspresi khasnya. Dan penonton langsung tertarik karena familiaritas itu memberi jaminan rasa aman akan film yang akan ditontonnya.
Selain itu, typecasting juga membantu menjaga ritme kerja di balik layar. Semisal aktor yang sudah terbiasa dengan satu jenis karakter cenderung lebih cepat beradaptasi di lokasi syuting. Mereka tahu gestur, intonasi, bahkan improvisasi yang sesuai dengan peran tersebut.Â
Buat produser yang dikejar deadline dan anggaran terbatas, ini adalah berkah. Mungkin tidak perlu workshop panjang atau eksplorasi mendalam karena semua sudah siap pakai.Â
Sebagai pemantik, coba bisa bedakan peran yang dilakoni Deva Mahenra di Ipar Adalah Maut (2024) dan La Tahzan (2025)? Tentu tidak bukan! Karena karakter Aris dan Reza yang ia lakoni, punya kemiripan yang identik. Yakni seorang suami yang berselingkuh dengan perempuan lain.Â
Atau kemunculan Asri Welas yang seringkali dijadikan bahan pemancing tawa. Apakah kamu berharap ketika menonton film yang ia bintangi, Asri Welas akan jadi nyonya kaya yang serius? 'kan tidak.
Jadinya, memilih aktor yang sudah terbukti cocok dengan tipe peran tertentu bukan sekadar kebiasaan, tapi strategi bisnis yang efisien. Dan mungkin juga sebagai bentuk kontrol produser untuk menciptakan formula yang bisa diulang, diuji, dan dijual.Â
Racun bagi kreativitas?
Menurut hemat saya, typecasting membuat aktor seperti mesin fotokopi. Mereka diminta mengulang versi yang sama, hanya dengan latar berbeda. Padahal, di balik wajah yang sudah akrab di layar, ada kemampuan yang belum sempat diuji.Â
Seorang aktor boleh jadi punya potensi komedi, tapi terus-terusan diminta menangis. Atau sebaliknya, punya kedalaman dramatis, tapi hanya dipakai untuk melucu. Akhirnya, mereka bukan berkembang, tapi bertahan dan menyesuaikan diri dengan ekspektasi pasar, bukan tantangan artistik.
Lebih parahnya lagi, ketika aktor mencoba keluar dari zona typecasting, responsnya sering tidak ramah. Penonton bingung, produser ragu, dan media bertanya, "Kok beda?". Seolah-olah aktor tidak boleh punya spektrum emosi, hanya satu warna yang sudah disetujui industri.Â
Semisal kalau saya sebagai produser ingin mencari karakter seorang ibu yang memiliki anak dengan keadaan ekonomi masyarakat kelas bawah, pastilah Cut Mini ada di urutan pertama. Sebaliknya, jika ingin mencari karakter serupa tapi dengan keadaan ekonomi masyarakat kelas menengah ke atas, Ira Wibowo bisa jadi bahan pertimbangan utama.Â
Kenapa nggak coba dibalik?
Atau ingin mencari karakter cowok red flag yang suka mempermainkan wanita, nama Giorgino Abraham dan Jefri Nichol pasti terlintas. Sebaliknya untuk karakter cowok soleh nan alim, boleh jadi Dude Harlino yang muncul pertama kali di pikiran.Â
Hal tersebut memang tidak akan membuat sang aktor merasa rugi terutama dari sisi finansial. Karena seenggaknya, mereka sudah berada di daftar teratas casting director untuk karakter-karakter tertentu. Tapi ia bisa jadi racun bagi kreativitas. Ia membuat aktor berjalan di tempat.
Dan kalau industri ingin benar-benar tumbuh, mungkin sudah waktunya berhenti melihat aktor sebagai template, dan mulai melihat mereka sebagai seniman yang layak diberi ruang untuk bereksperimen, gagal, dan bersinar.
Kesimpulannya, dalam industri yang masih bertumpu pada nama besar dan daya tarik instan, typecasting bukan sekadar pilihan malas---ia adalah strategi bertahan hidup. Tentu saja, ini bukan berarti tidak ada ruang untuk eksplorasi.Â
Tapi selama penonton masih merasa nyaman dengan pola yang sama, dan angka penjualan tiket tetap stabil, typecasting akan terus jadi senjata utama di balik layar.
Adakah aktor favoritmu yang ngerasa typecasting banget? Berbagi di komentar ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI