Kemenangan Adrien Brody (The Brutalist) sebagai Best Actor in Leading Role, sebetulnya tidak mengherankan publik. Penampilannya banyak mendapat pujian dari para kritikus.
Hanya saja, sebelum Oscar digelar, aktingnya di film tersebut mendapat kontroversi usai munculnya pengakuan bahwa ada turut campur AI (Artificial intelligence) dalam memoles aksen Hungaria sang aktor.
Banyak pihak yang mengharapkan Adrien Brody dicoret dari daftar nominasi, atau seenggaknya tidak dimenangkan. Tapi kenyataan bicara lain.
Bagaimana saya menanggapi ini?
Kehadiran AI nggak bisa dipungkiri membuat apapun menjadi serba mudah. Tapi di sisi yang lain, AI juga bisa membuat originalitas dan autentik sebuah karya menjadi bias.
Sependek yang saya tahu, memang belum ada kesepakatan di antara para pelaku industri film terkait sejauh mana penggunaan AI dalam sebuah karya film. Namun apabila itu dilakukan kepada aktor, hanya agar aksen atau pelafalan dialognya terasa sempurna, saya kira itu melawan orisinalitas.
Dalam seni akting, bagaimanapun juga aksen adalah bagian dari performa seorang aktor, meski bukan satu-satunya. Walau saya pun beranggapan bahwasanya aksen/logat adalah salah satu hal yang paling sulit dipelajari oleh seorang aktor.
Di film Indonesia saja, kita masih banyak menemukan para aktor ketika berlogat bahasa daerah terasa tidak natural dan berlebihan.
Namun, itu semua tidak menjadi alasan bahwasanya aksen tersebut harus dipoles oleh AI hanya agar terkesan sempurna.Â
Kan lucu jika juri menilai penampilan seorang aktor itu bagus dan layak menang, salah satunya karena aksennya yang sempurna, padahal yang mereka nilai ada andil AI. Yang rugi sebetulnya aktornya sendiri. Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga.
Emilia Perez nyaris menangis
Seperti yang sudah saya prediksikan di tulisan ini, Emilia Perez kemungkinan besar akan pulang dengan tangan hampa, atau setidaknya hanya akan meraih dua nominasi saja. Dan prediksi saya benar. Bukan hanya soal jumlahnya saja tapi juga kategorinya.