Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review Film Cobweb, Tampilkan Teror yang Efektif Meski Lemah di Cerita

15 Agustus 2023   18:03 Diperbarui: 17 Agustus 2023   20:06 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tok..tok..tok.../imdb.com

Semestinya penayangan Cobweb bisa ditunda untuk akhir Oktober nanti. Pasalnya, film ini sepenuhnya mengambil latar Halloween yang di sebagian besar negara dirayakan setiap tanggal 31 Oktober.

Tapi ya sudahlah. Beberapa waktu terakhir ini, memang horor sepertinya nggak punya lagi momen spesial. Karena setiap minggu, selalu ada saja film horor yang rilis di bioskop. Mau dirilis kapan pun, ya peminatnya masih akan ada.

Nggak berlebihan jika julukan tempat yang paling seram saat ini diberikan kepada bioskop. Xixixi.

Sisipkan cerita bullying di sekolah

Film arahan Samuel Bodin ini, berpusat pada karakter Peter (Woody Norman), seorang siswa yang sering dirundung di sekolahnya. Peter tidak pernah melawan. Hingga suatu hari ia berani melawan teman yang merundungnya tersebut.

Bahkan pembalasan Peter sungguh lebih kejam. Temannya dijatuhkan dari tangga yang membuat kakinya cedera. Sementara sebelumnya, bullying yang dilakukan temannya kepada Peter hanya soal menghancurkan labu Halloween yang menjadi tugas sekolahnya.

Kenekatan Peter ini dipicu oleh suara asing yang didengarnya dari balik dinding kamarnya. Suara tersebut sangat bersahabat bagi Peter yang kesepian dan terkesan lemah. Suara itu pun perlahan menjadi sahabat barunya.

Peter, si bocah polos, percaya dengan apapun yang dikatakan oleh suara tersebut. Ya, termasuk balas dendam kepada teman yang merundungnya.

Bangunan teror yang efektif

Cerita tentang bullying hanya sisipan, karena Cobweb nggak ke fokus ke sana. Fokus Cobweb adalah kisah Peter dan suara asing yang didengarnya.  

Meski begitu, kisah bullying ini menjadi alasan yang masuk akal, akan suatu babak klimaks di akhir film yang ternyata jauh lebih menyeramkan daripada bullying itu sendiri.

So, kita lupakan dulu soal bullying-nya. Dan selayaknya film horor, nggak afdol kalau tidak membahas bangunan terornya. 

Perhatikan apa yang berbeda dari kue labu yang disiapkan ibunya Peter/imdb.com
Perhatikan apa yang berbeda dari kue labu yang disiapkan ibunya Peter/imdb.com
Dalam membangun teror, saya kira Cobweb cukup efektif melakukannya. Film ini nggak banyak mengumbar jumpscare atau penampakan hantu setiap semenit sekali, tapi penonton dibuat peduli dengan kisah yang dialami oleh Peter.

Termasuk ketika film menghadirkan dua karakter lain yakni ayah dan ibu Peter.

Penonton akan disajikan dua sudut pandang cerita, yakni cerita dari si suara asing tersebut dan cerita dari sisi orang tua Peter. Film dengan cermat mampu menempatkan penonton berada dalam posisi yang sulit untuk mempercayai kisah mana yang benar.

Terlebih dengan karakterisasi ayahnya Peter yang terlihat kejam apalagi ketika menghukum Peter dengan mengurungnya di rubanah. Sosok ayah yang jahat mudah sekali kita sematkan padanya.

Belum lagi apa yang diputuskan oleh ayah Peter, tidak mendapat pertentangan sama sekali dari istrinya.

Sangat mudah sekali kita percaya kalau orang tua Peter adalah orang jahat sebagaimana yang sering didengungkan si suara asing kepada Peter.

Naskah yang ditulis Chris Thomas Devlin ini terkesan berat sebelah. Karena sampai detik tersebut, penonton hanya diperlihatkan gambaran orang tua Peter yang seakan menyembunyikan sesuatu.

Saya yang terbiasa menonton film horor dengan pula serupa, dengan mudah menduga bakal ada plot twist yang saya harap bisa memuaskan dan believable.

Dugaan saya bukan tanpa alasan. Dari pengalaman saya menonton film horor, sineas memang senang mempermainkan penonton dengan memperlihatkan karakter yang terkesan jahat padahal baik. Begitu juga sebaliknya.

But, itu bukan masalah sebetulnya. Yang terpenting, bagaimana film membangun kisahnya dengan apik.

Dan untuk urusan tersebut, bisa saya bilang Cobweb berhasil bisa juga tidak.

Beneran bikin geleng-geleng kepala pas tahu, siapa di balik suara tersebut/imdb.com
Beneran bikin geleng-geleng kepala pas tahu, siapa di balik suara tersebut/imdb.com
Saya bilang berhasil, karena film ini sama sekali tidak tentang hantu. Apa-apa yang menjadi sumber teror, apa dan kenapa alasannya, mudah dicerna dan dipercaya oleh penonton. 

Tapi saya juga bisa bilang tidak berhasil karena seakan ingin membuat plot twist bahwa film ini bukanlah tentang hantu, film tidak cukup mampu untuk membuat cerita cadangannya.

Kamu yang sudah nonton bakal merasa 'ha oh ha oh' alias mikir kebingungan ketika film membuka siapa sosok di balik suara asing yang didengar Peter itu.

Setelah tahu apa yang dijelaskan film, saya malah merasa lebih baik jika suara asing yang didengar Peter itu dibiarkan sebagai 'suara' saja, tanpa perlu ada penjelasannya. Hehe.

Pelit durasi, padahal banyak hal yang bisa dikembangkan

Sebetulnya saya agak malas menonton film layar lebar yang durasinya kurang dari 90 menit. Ya, meski mutu sebuah film memang tidak bisa dilihat dari durasi semata, tapi kemalasan film dalam bercerita bisa dilihat dari durasi.

Cobweb berdurasi 88 menit. Jika saja ia mau menambah durasi dengan adegan-adegan yang seharusnya menjadi pelengkap, bisa saja Cobweb ini menjadi horor seru yang tampil baik di atas rata-rata.

Framing dan komposisi kameranya saya suka/imdb.com
Framing dan komposisi kameranya saya suka/imdb.com
Ada beberapa hal yang menjadikan film ini terasa kurang utuh sebagai sebuah film.

Pertama, film menghadirkan satu karakter lain yang berada di pihak Peter. Ia adalah gurunya di sekolah.

Rasanya, saya tidak tertidur. Tapi kok, cerita filmnya seakan sudah melompat jauh. Di suatu momen, film langsung memperlihatkan sosok guru yang tiba-tiba saja peduli pada Peter. Padahal sebelumnya film tidak pernah memperlihatkan interaksi yang intens antara Peter dan gurunya.

Satu-satunya bukti yang bisa membuat saya sedikit percaya kalau guru tersebut peduli adalah informasi tentang berita anak yang hilang saat Halloween yang digambarkan film melalui montase editing yang sangat cepat.

Soal anak siapa yang hilang, di mana hilangnya, itu tidak terlalu tidak jelas. Tapi intinya, berita ini membuat sang guru khawatir terhadap Peter yang bisa saja ia mengira Peter juga dalam bahaya setelah dikeluarkan dari sekolah. Apalagi kan latar film ini memang saat Halloween. 

Kedua persoalan ending. Cobweb mengakhiri filmnya dengan tiba-tiba saja. Ceritanya belum selesai, sudah muncul credit title.

Ah sudahlah, film sengaja membiarkan mayat-mayat berserakan tidak diurus. Ok! Saya masih bisa maklum jika soal mayat itu nggak diberi resolusi akhir. But, Peter sebagai protagonis utama sangat perlu diberikan resolusi.

Film harusnya menampakkan kondisi Peter setelah ia selamat dan berhasil melalui malam Halloween yang menyeramkan bagi anak seusianya. Film perlu memperlihatkan emosi Peter, ketika ia tahu kalau suara asing tersebut sudah menipu dan memperdayanya

Ah ya sudahlah. Untuk seru-seruan saja, Cobweb masih cukup untuk dinikmati. Tanpa harus berpikir panjang, kenapa bisa begini, bisa begitu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun