Mohon tunggu...
rainer rusly
rainer rusly Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Canisius College Cup Kembali Membekalkan Manusia Berkarakter

5 Oktober 2025   23:31 Diperbarui: 5 Oktober 2025   23:57 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya datang sebagai murid Kolese Kanisius yang memikul tiga peran. Saya berdiri di depan meja tenis sebagai atlet, duduk di tribun sebagai penonton, dan berlari kecil di balik panggung sebagai panitia.

Tiga peran ini tidak terpisah, melainkan saling menerangi. Pengalaman sebagai atlet menajamkan empati saya di tribun. Pengalaman sebagai penonton mengingatkan agar panggung yang saya rancang tetap ramah dan tertib. Pengalaman sebagai panitia memperdalam rasa syukur ketika dipercaya membawa nama sekolah. Pada titik ini saya menyadari, Canisius College Cup bukan sekadar kompetisi. Ia adalah ruang pembentukan diri, tempat setiap peserta belajar tentang ketekunan, solidaritas, dan tanggung jawab.

Canisius College Cup edisi ke 40 terasa seperti sebuah musim yang panjang di Menteng. Udara pagi dibuka oleh peluit yang tegas, siang berganti dengan sorak yang menebal, dan malam ditutup oleh langkah yang belum ingin beristirahat.

Di halaman itu kerja yang tidak terlihat berjalan bersama kegembiraan yang mudah terbaca karena semua berjalan dengan kompas batin bertuliskan “el-ḥelw mā yekmelsh”, pepatah Mesir Kuno yang berarti “yang indah tak pernah sempurna.”

Skala kegiatan ini menghadirkan kekaguman tersendiri melalui 20 cabang lomba—olahraga, seni, pengetahuan, dan bahasa—yang seluruhnya berlangsung tatap muka di kompleks Kolese Kanisius. Lombanya sangat beragam, antara lain: mini soccer, basket, voli, bulu tangkis, tenis meja, band, paduan suara, fotografi, short movie, debat (Bahasa Indonesia dan Inggris), hingga digital painting dan cubing. Gugus kegiatan ini bukan sekadar daftar; ia adalah lanskap tempat bakat bertemu disiplin, tempat kegembiraan bertemu tanggung jawab. Demikian, terdapat 214 sekolah berpartisipasi, lebih dari 4000 pengunjung hadir, dan sekitar 1000 panitia bekerja tanpa henti. Angka bukan hanya catatan di papan. Angka adalah denyut nadi yang menyalakan panggung dan menuntun kami yang muda untuk memadukan semangat dengan ketertiban, ambisi dengan rasa hormat, serta kerja keras dengan rasa syukur.

Menggali isi acara lebih dalam, saya memulai dari kursi atlet. Tenis meja tidak selalu menjadi sorotan utama. Awalnya saya menganggapnya selingan di tengah ramainya cabang lain. Pandangan itu berubah ketika saya melihat teman yang berlatih tanpa lelah tetapi tidak mendapat kesempatan bertanding. Dari sana saya belajar bahwa kesempatan adalah titipan, dan setiap titipan menuntut kesungguhan. Pada pertandingan yang saya jalani, lebih dari 30 penonton berdiri rapat di sisi meja. Telapak tangan saya basah oleh keringat, napas diatur perlahan, dan pikiran saya menatap lawan di seberang. Namun, lawan sejati bukan hanya sosok di hadapan. Lawan sejati adalah diri sendiri---ragu, cemas, dan takut gagal. Hari pertama memberi rasa manis, hari kedua menghadirkan pahit ketika nama saya tidak masuk daftar tim. Keputusan itu menekan hati, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan. Hasil berada di wilayah waktu, sedangkan usaha berada di wilayah kehendak. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa kekalahan pun bisa menjadi guru yang jujur.

Hasil adalah keputusan waktu. Usaha adalah keputusan kita.

Dari lapangan saya berpindah ke tribun. Di kursi penonton, saya menemukan wajah lain dari pembelajaran. Hadir untuk menyemangati adalah bentuk cinta yang sederhana, tetapi kuat. Saya berkeliling dari satu pertandingan ke pertandingan lain, dari ruang seni ke ruang wicara. Pertandingan sepak bola selalu menjadi pusat perhatian. Kami bernyanyi bersama, menahan napas saat adu penalti, lalu menepuk bahu satu sama lain ketika skor tak berpihak. Tidak ada yang pulang sebagai pecundang selama kami berdiri bersama. Tribun bukan tempat diam. Tribun adalah mesin empati yang menyalurkan semangat dari penonton ke pemain. Di sana kami belajar tertib, belajar menahan diri, belajar menghargai perjuangan orang lain. Pendidikan karakter tidak selalu datang dari ruang kelas. Ia tumbuh dari kebiasaan baik yang diulang, dari dukungan kecil yang tulus, dari tepuk tangan yang diberikan tanpa pamrih.

Di balik panggung, saya belajar tentang kepemimpinan. Saya diberi tanggung jawab sebagai koordinator utama seksi acara. Persiapan dimulai sejak April dan berjalan sepanjang Mei. Rapat demi rapat menyatukan banyak kehendak dan menguji kesabaran. Panggung adalah makhluk hidup. Arus penonton dapat berubah, arah suara dapat bergeser, dan jadwal harus dijaga agar tetap teratur. Saya berkoordinasi dengan bagian deville, tiket, sponsor, keamanan, kebersihan, publikasi, perlombaan, dan desain. Pada hari pelaksanaan, kejutan datang tanpa undangan. Mikrofon mendadak sunyi, antrian memanjang, waktu penampilan bergeser. Kami menahan emosi, memilih kata yang tepat, dan bergerak cepat. Dari situ saya belajar bahwa memimpin bukan tentang memberi perintah, melainkan tentang menenangkan badai. Saya juga berusaha menata konsep baru, agar karya siswa Kanisius mendapat ruang tampil lebih luas. Sorotan tidak hanya milik nama besar, tetapi juga milik mereka yang tumbuh bersama proses. Hasilnya menyenangkan. Penonton tetap ramai, suasana tetap hidup, dan kebanggaan tumbuh wajar di wajah para peserta.

Canisius College Cup adalah festival karakter. Skor dapat terlupa, tetapi adab akan tinggal lama dalam diri.

Tiga peran itu---atlet, penonton, panitia---membangun gagasan saya tentang karakter anak muda. Dari kursi atlet tumbuh disiplin dan rasa syukur. Dari tribun lahir empati dan solidaritas. Dari balik panggung lahir kepemimpinan dan tanggung jawab. Ketiganya bertemu di satu titik: semangat untuk menjadi lebih baik. Di sekolah kami mengenalnya sebagai semangat magis, yaitu dorongan untuk menambah satu derajat kebaikan pada setiap tindakan. Atlet menambah ketekunan, penonton menambah kepedulian, panitia menambah kecermatan, guru menambah ketenangan. Bila setiap orang menambah satu derajat kebaikan, maka suasana akan naik satu tingkat keindahan.

Ratusan sekolah berjumpa di satu kompleks. Ribuan pengunjung berjalan di jalur yang sama. Seribu panitia bekerja agar semuanya tertib dan aman. Stan makanan dan cinderamata memberi jeda yang hangat. Informasi disebarkan dengan rapi agar semua memahami jadwal. Penutupan dirancang cermat sebagai penanda istimewa. Di balik semua yang tampak teratur, tersimpan nilai yang memberi makna. Ketepatan waktu mengajarkan hormat kepada orang lain. Barisan yang tertib mengajarkan kerja sama. Aturan pertandingan melatih kejujuran. Publikasi yang terbuka melatih tanggung jawab. Kebersihan yang dijaga mengajarkan cinta lingkungan. Nilai-nilai itu tidak diajarkan lewat papan tulis, tetapi lewat kerja yang dilakukan bersama hari demi hari.

c66f16b5-77d2-4e50-9eb3-c181c2dda919-jpg-68e2a336ed641536d26cfe83.jpg
c66f16b5-77d2-4e50-9eb3-c181c2dda919-jpg-68e2a336ed641536d26cfe83.jpg
Saya menutup perjalanan ini dengan rasa syukur yang dalam. Di kursi pemain saya belajar rendah hati karena kesempatan adalah titipan. Di tribun saya belajar empati karena tepuk tangan mampu mengubah suasana. Di balik panggung saya belajar kepemimpinan karena keputusan terbaik sering lahir dari keterbatasan. Canisius College Cup ke 40 layak disebut sebagai perayaan karakter anak muda. Keindahannya bukan karena tanpa cela, melainkan karena dikerjakan dengan hati yang jujur dan niat yang bersih. Saat lampu panggung padam dan tribun kembali kosong, kami membawa pulang sesuatu yang tidak tercetak di rapor: cara baru memandang dunia. Tahun depan, kami akan datang lagi dengan tekad yang lebih jernih, kerja yang lebih matang, dan tanggung jawab yang lebih teguh. Menteng akan kembali ramai, sorak akan kembali bergema, dan Canisius College Cup akan terus menjadi ruang belajar yang indah, meriah, dan bermakna bagi generasi muda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun