Tiga peran itu---atlet, penonton, panitia---membangun gagasan saya tentang karakter anak muda. Dari kursi atlet tumbuh disiplin dan rasa syukur. Dari tribun lahir empati dan solidaritas. Dari balik panggung lahir kepemimpinan dan tanggung jawab. Ketiganya bertemu di satu titik: semangat untuk menjadi lebih baik. Di sekolah kami mengenalnya sebagai semangat magis, yaitu dorongan untuk menambah satu derajat kebaikan pada setiap tindakan. Atlet menambah ketekunan, penonton menambah kepedulian, panitia menambah kecermatan, guru menambah ketenangan. Bila setiap orang menambah satu derajat kebaikan, maka suasana akan naik satu tingkat keindahan.
Ratusan sekolah berjumpa di satu kompleks. Ribuan pengunjung berjalan di jalur yang sama. Seribu panitia bekerja agar semuanya tertib dan aman. Stan makanan dan cinderamata memberi jeda yang hangat. Informasi disebarkan dengan rapi agar semua memahami jadwal. Penutupan dirancang cermat sebagai penanda istimewa. Di balik semua yang tampak teratur, tersimpan nilai yang memberi makna. Ketepatan waktu mengajarkan hormat kepada orang lain. Barisan yang tertib mengajarkan kerja sama. Aturan pertandingan melatih kejujuran. Publikasi yang terbuka melatih tanggung jawab. Kebersihan yang dijaga mengajarkan cinta lingkungan. Nilai-nilai itu tidak diajarkan lewat papan tulis, tetapi lewat kerja yang dilakukan bersama hari demi hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI