Sejarah adalah fondasi yang membentuk identitas suatu bangsa, menjadi penuntun arah perjalanan dan pijakan nilai dalam kehidupan bernegara. Namun, ketika sejarah dikaburkan, maka identitas pun ikut disesatkan. Salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam dalam sejarah Indonesia adalah peristiwa Mei 1998---masa penuh kekerasan, penjarahan, dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa.
Polemik mencuat kembali ketika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dalam sebuah pernyataannya menyebut bahwa pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 hanyalah "rumor" tanpa bukti konkret. Pernyataan tersebut bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap luka sejarah, tetapi juga menyakiti para penyintas dan mengancam proses rekonsiliasi nasional yang belum tuntas hingga kini.Â
Realitas dan Fakta Sejarah
Bukti-bukti keberadaan kekerasan seksual massal pada Mei 1998 telah didokumentasikan oleh lembaga-lembaga kredibel, seperti Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Komnas Perempuan, hingga pengakuan resmi Presiden B.J. Habibie saat itu. Laporan-laporan tersebut menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa, dilakukan secara sistematis pada 13--15 Mei 1998.
Namun, pengumpulan bukti dalam kondisi represif dan minim perlindungan pada masa itu sangat sulit dilakukan. Banyak korban yang meninggal, dan sebagian besar penyintas mengalami trauma mendalam serta enggan bersuara karena takut akan stigma maupun intimidasi.
Upaya Pengaburan Melalui Penulisan Ulang Sejarah
Dalam kerangka penulisan ulang sejarah nasional, terdapat indikasi penghilangan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi Mei 1998. Langkah ini memunculkan kekhawatiran bahwa negara sedang membentuk narasi sejarah yang tidak utuh, memihak kekuasaan, dan menutup suara korban. Banyak aktivis perempuan dan penyintas mengecam keras upaya ini, menyebutnya sebagai bentuk pelecehan terhadap perjuangan mereka dalam menuntut keadilan dan pengakuan. Penulisan sejarah semestinya merupakan proses inklusif, di mana pengalaman korban dijadikan sumber utama. Mengabaikan mereka berarti membiarkan bangsa ini berjalan dalam kegelapan sejarah yang dibuat-buat.
Rekomendasi Kebijakan
1. Dialog Terbuka dan InklusifÂ
Pemerintah harus memfasilitasi ruang dialog antara penyintas, saksi, TGPF, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh negara. Forum ini diperlukan sebagai bentuk pengakuan atas kebenaran sejarah dan langkah awal rekonsiliasi.
2. Revisi Penulisan Sejarah Nasional
Tragedi Mei 1998 dan pelanggaran HAM berat lainnya wajib dimasukkan dalam kurikulum sejarah nasional. Penulisannya harus berdasarkan kesaksian korban, dokumen resmi, serta kajian akademik yang objektif dan transparan.Â