Mohon tunggu...
dade samsul rais
dade samsul rais Mohon Tunggu... Konsultan - Mantan jurnalis, sekarang bergerak di bidang konsultan media

Saya tertarik menganalisis sosial politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Persepsi Jenderal, dan Islam Politik

9 Mei 2018   13:47 Diperbarui: 9 Mei 2018   15:22 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemunculan poltik identitas (agama) tak lepas dari 'kesuksesan' gerakan kelompok Islam politik 'menguasai' panggung politik Islam di tanah air. Mereka secara kontinyu mengkampanyekan islam (formalistic) dalam bernegara. Selain menyangkut kepemimpinan, narasi besar mereka adalah tentang memformalkan syariat islam sebagai konstitusi negara.

Selama rezim Jokowi, eksistensi kelompok ini seolah menemukan posisi puncaknya. Mereka seolah menjadi trigger kebangkitan Islam, meski sebenarnya, tema besar yang mereka usung (formalistic dan khilafah) bersimpang jalan dengan kelompok besar umat islam moderat. Tetapi, karena kelompok Islam moderat lebih tampak seperti silent majority, kelompok Islam politiklah yang seolah-olah menguasai panggung dan mewakili umat Islam secara keseluruhan.

Kenapa di era Jokowi?

Sejak sebelum hingga terpilih menjadi presiden, Jokowi dipersepsi sebagai penguasa yang anti bahkan menyerang Islam. Karena itu, kelompok ini berdiri paling depan dalam menentang Jokowi, sekaligus mencegah Jokowi --yang dipastikan kembali ikut berkontestasi---terpilih untuk periode kedua.

Benarkah argumen kelompok Islam politik tentang Jokowi?

Menurut saya, musababnya, tak lepas dari figur Jokowi, seorang sipil yang bottom up dengan cepat hingga terpilih menjadi presiden. Padahal, ia nihil akan semua variabel yang dipersepsi sebagai syarat menjadi presiden di Indonesia, termasuk variabel yang disebut pengamat di atas tentunya. Jokowi mampu meraih pemuncak kekuasaan, memberi efek kejut cukup besar sekaligus anomali dari pakem politik yang telah mentradisi.

Ia bukan jenderal, bukan juga konglomerat --sekadar tukang mebel. Bukan pula pemuncak partai politik --sekadar petugas partai. Ia juga berasal dari kelompok masyarakat abangan, bukan terlahir dari kultur santri atau pesantren.

Karena tidak memiliki variabel-variabel di atas, Jokowi kemudian sejak awal dipersepsi tidak pantas menjadi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi negara, meski faktanya ia dipilih dengan suara terbanyak. Bahkan, tak sedikit kalangan pengamat politik juga berpendapat serupa, terpilihnya Jokowi dianggap kesalahan sejarah.

Karena bukan jenderal, sejak ikut kontestasi hingga terpilih, Jokowi dipersepsi sebagai person yang lemah. Ia dianggap tidak mampu bahkan tidak layak memimpin negara.  Saya masih ingat ada pengamat politik senior yang menyebut, bahwa Jokowi adalah presiden terlemah yang pernah dimiliki Indonesia.

Karena bukan jenderal pula, isu komunisme dengan 'manis' disematkan lawan politik. Isu ini belakangan mulai menggelinding lagi menjelang ia mengikuti kontestasi pilpres kedua tahun depan. Meski telah berulang kali menepis isu tersebut, tapi tak sedikit publik yang telanjur meyakini bahwa Jokowi merupakan anak biologis dan ideologis komunis.

Menurut hemat saya, komunisme adalah ideologi usang, yang sudah tidak laku di tataran global. Tetapi, di Indonesia --karena isu komunis dikapitalisasi selama 30 tahun lebih oleh negara--  masih banyak yang percaya bahkan ada kelompok yang tetap me-maintenance isu ini sebagai peluru untuk mematikan lawan politik. Cara ini persis seperti yang dilakukan kekuasaan militeristik otoritarian ketika mematikan lawan politiknya dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun