Pada tanggal 10 September, Saya mengikuti pembelajaran dari Dosen mata kuliah Pancasila dari bapak DRS. Study Rizal LK,MA. Hari itu, kita semua kuliah secara online dikarenakan alasan yang tidak memadai untuk kuliah offline. Pak Study mengirim materi berisikan lagu tabola bale yang saat ini sedang ramai dinyanyikan masyarakat.
Setelah membaca artikel ini, saya mulai menyadari bahwa lagu Tabola Bale bukan sekadar hiburan yang mengundang tawa dan joget semata, tetapi juga merupakan cerminan dari dinamika sosial yang lebih mendalam. Di balik nuansa ceria dan energi positif yang dihadirkan lagu tersebut, terdapat kenyataan bahwa masyarakat di kawasan Timur Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Lagu ini memang berhasil mencuri perhatian publik nasional, bahkan menyentuh ruang simbolik seperti Istana Merdeka, dan itu tentu merupakan pencapaian luar biasa bagi ekspresi budaya lokal. Namun, apresiasi terhadap budaya tidak boleh berhenti hanya pada perayaan visual atau performatif saja. Artikel ini membuka mata saya bahwa popularitas suatu karya bisa menjadi alat refleksi---bahwa di balik sorotan lampu dan viralitas media sosial, masih ada suara-suara yang perlu didengar lebih dalam, terutama terkait kondisi hidup masyarakat yang menjadi asal muasal karya tersebut.
Saya pun semakin memahami bahwa budaya harus dilihat secara lebih kritis. Ia bukan hanya alat pemersatu, tetapi juga medium yang bisa mengungkapkan ketimpangan yang masih berlangsung. Lagu Tabola Bale menjadi semacam "jendela budaya" yang memperlihatkan betapa anak-anak muda dari Timur memiliki daya cipta luar biasa, namun masih belum sepenuhnya mendapatkan dukungan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan. Ini membuat saya berpikir ulang mengenai bagaimana kita, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, turut andil dalam membangun kesadaran bersama bahwa keadilan tidak cukup hanya diwakili oleh simbol-simbol inklusivitas di panggung nasional, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang menyentuh akar permasalahan.
Dengan demikian, lagu tersebut bukan hanya sebuah karya seni yang menyenangkan, melainkan juga panggilan untuk melihat lebih jujur pada kondisi nyata masyarakat yang mungkin selama ini hanya disorot saat momen-momen tertentu saja. Saya jadi merasa bahwa merayakan budaya harus selalu dibarengi dengan kepedulian terhadap konteks sosial di baliknya. Pengakuan terhadap identitas lokal harus diiringi dengan usaha konkret untuk memperbaiki kualitas hidup mereka yang berasal dari daerah tersebut, agar perayaan tidak menjadi sekadar hiasan tanpa makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI