DAIK LINGGA – Kabupaten Lingga, yang berjuluk 'Bunda Tanah Melayu,' kembali mencatatkan rapor merah di kancah regional. Data terbaru melukiskan realitas suram: daerah ini bukan hanya menjadi wilayah termiskin di Kepulauan Riau, tetapi juga terjebak dalam krisis kemandirian fiskal yang kronis dan alokasi anggaran yang pincang. Pertanyaan mendasar kini mengemuka, tanpa perubahan fundamental, akankah Lingga akan terus 'begitu-begitu saja' di tengah potensi bahari dan agraria yang melimpah?
Predikat Termiskin dan Ketergantungan Kronis
Lingga resmi memegang predikat tertinggi untuk angka kemiskinan di Kepri. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, angka kemiskinan di LinggaÂ
Di balik angka kemiskinan yang tinggi, terkuak fakta mencengangkan mengenai kondisi keuangan daerah. Lingga terbukti sangat bergantung pada uluran tangan pemerintah pusat, yang mencerminkan hilangnya kemandirian ekonomi.
Berdasarkan Rancangan APBD (RAPBD) 2025, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lingga hanya menyentuh ±17,46 Persen dari total pendapatan daerah, atau sekitar Rp172,96 Miliar. Sisanya, sekitar ±78 Persen dari total anggaran yang mencapai hampir Rp1 triliun, sepenuhnya ditopang oleh dana transfer dari Jakarta. Ketergantungan fatal ini membuat nasib pembangunan Lingga sangat rentan terhadap kebijakan fiskal pusat.
Anggaran Terserap Rutinitas, Pembangunan Terlupakan
Kritik semakin keras tertuju pada alokasi belanja daerah. Alih-alih memprioritaskan belanja modal untuk investasi infrastruktur, anggaran justru banyak dihabiskan untuk kebutuhan rutin dan operasional, seolah pemerintah daerah lebih nyaman menjalankan rutinitas daripada membangun masa depan.
Realisasi anggaran per Juni 2025 menunjukkan ketimpangan yang ekstrem. Belanja Pegawai telah terserap hingga Rp151,18 Miliar, sementara Belanja Modal (yang digunakan untuk pembangunan jalan, pelabuhan, dan fasilitas publik) baru terealisasi senilai Rp0,48 Miliar, atau hanya 0,34 Persen dari pagu yang tersedia.
Data ini secara lugas membenarkan tudingan adanya pembangunan yang tidak merata dan minimnya komitmen untuk menciptakan pondasi ekonomi yang produktif.
Jerat 'Raja Kecil' dan Pekerja Berpendapatan Rendah