Senja sudah lama berpamitan, sepoi-sepoi angin malam, kini menemaninya sendirian. Â Besok tahun baru, seperti biasa Naza selalu menuliskan harapannya. Ia percaya harapan yang tertulis, akan lebih mudah untuk diwujudkan.Â
Pena dengan tinta biru, ia goresan ke sebuah jurnal pribadinya membentuk huruf-huru harapan. Harapannya di tahun besok adalah bisa menikahi gadis yang amat ia cintai.Â
Tiga tahun lalu. Zara, gadis impian Naza menolak lamarannya. Alasannya karena Naza hanya seorang penulis lepas yang tak punya penghasilan yang jelas. Sekarang, Naza sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ia juga sudah punya penghasilan tetap. Tak ada lagi alasan baginya untuk menolak Naza.Â
Kini sudah menunjukkan pukul 24.00 wib, suara bising sirene dan dentuman petasan riuh  diluar.  Pertanda  31 Desember sudah berlalu.  Januari pun sudah datang kembali. Menyapa tahun baru yang baru lagi.  Ia segera tidur. Tak sabar untuk menghadapi hari esok.Â
Keesokan harinya, setelah rapi dan sarapan. Ia pergi ke rumah Zara, hari ini Zara pulang. Setelah tiga tahun, gadis cantik itu pergi menyelesaikan studi untuk mendapat gelar magister. Ia tak sabar menemui pujaan hatinya itu, dan menyampaikan keinginannya mempersunting gadis pilihannya itu ke depan ayah, ibu perempuan itu.Â
Setelah sampai di rumah Zara, ia disuguhi dengan pemandangan yang menggerakkan. Â Seorang laki-laki sebayanya membuka pintu. Kepala Naza bertanya-tanya siapa laki-laki itu. Setahunnya Zara tidak punya saudara laki-laki.Â
"Ada apa Mas?" Ujar laki-laki itu.Â
"Zaranya ada?"Â
"Ada, tapi ada keperluan apa ya Mas" tanyanya.Â
"Saya mau menjumpai ayah Ibunya"
"Oohh... silahkan masuk"Â