Mohon tunggu...
rahmat ridho
rahmat ridho Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

saya akan menulis berbagai macam artikel yang membahas isu lingkungan, energi terbarukan, pertanian, sumber daya alam. semoga bermanfaat bagi pembaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lanskap Energi Indonesia: Menyeimbangkan Bahan Bakar Fosil dan Ambisi Energi Terbarukan

23 Mei 2024   09:34 Diperbarui: 23 Mei 2024   09:41 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PLTB-Sidrap: https: www.wikiwand.com

Indonesia, negara kepulauan yang luas dengan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi yang terus berkembang, menghadapi tantangan energi yang kritis: menyeimbangkan ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan ambisi energi terbarukan yang ambisius. Tarian yang rumit ini sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan sekaligus menjaga lingkungan.

Warisan Bahan Bakar Fosil

Lanskap energi Indonesia berakar kuat pada bahan bakar fosil.  Setelah menjadi eksportir minyak yang signifikan, status negara ini telah bergeser menjadi importir netto meskipun keanggotaannya di OPEC hingga 2016. Transformasi ini menggarisbawahi pertumbuhan permintaan domestik untuk minyak, yang melebihi produksi.  Selain itu, Indonesia adalah produsen dan eksportir batubara terkemuka, dengan cadangan batubara terbesar keempat di dunia, dan berada di posisi 11 besar untuk kepemilikan cadangan batubara. Namun, industri batubara menghadapi tantangan terkait deforestasi di Kalimantan, masalah lingkungan yang diangkat oleh Greenpeace, dan persaingan yang semakin ketat dari Rusia yang mengalihkan ekspornya ke Asia.

Membuka Potensi Energi Terbarukan

Meskipun bahan bakar fosil masih mendominasi, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, dengan estimasi sumber daya melebihi 417,8 GW, yang terdiri dari tenaga surya, angin, air, panas bumi, arus laut, dan bioenergi.  Namun, pemanfaatan potensi yang sangat besar ini masih relatif rendah, hanya mencapai 2,5% dari sumber daya yang tersedia. Kesenjangan ini mencerminkan tantangan yang menghambat transisi energi terbarukan di Indonesia.

Menavigasi Transisi


Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan yang bertujuan untuk mempromosikan energi terbarukan dan memitigasi emisi gas rumah kaca. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menetapkan target ambisius untuk Energi Baru dan Terbarukan, dengan target 23% dari total bauran energi pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.  Indonesia juga bergabung dengan Perjanjian Paris, berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, dengan potensi mencapai 41% dengan dukungan internasional. Indonesia telah berkomitmen untuk menghentikan penggunaan tenaga batu bara secara bertahap pada tahun 2040-an, meskipun masih ada banyak tantangan untuk mencapai tujuan ini.

Hambatan-hambatan terhadap Pertumbuhan Energi Terbarukan

Terlepas dari kerangka kebijakan yang kuat dan potensi yang signifikan, transisi energi terbarukan di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala. Kurangnya peraturan yang memadai untuk menarik investasi sektor swasta menjadi perhatian utama.  Ketidakkonsistenan dalam peraturan, terutama persyaratan bagi investor swasta untuk mentransfer proyek mereka ke PLN (satu-satunya pengambil alih listrik) di akhir periode perjanjian, ditambah dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang menetapkan harga konsumen energi, menimbulkan kekhawatiran tentang pengembalian investasi.

Pembiayaan menjadi tantangan lain, dengan proyeksi investasi sebesar US$154 miliar yang dibutuhkan untuk mencapai target 23% energi terbarukan melebihi kemampuan negara.  Keengganan dari calon investor dan bank pemberi pinjaman semakin memperparah masalah ini.

Biaya juga merupakan rintangan yang signifikan. Proyek-proyek energi terbarukan seringkali membutuhkan investasi yang besar di awal, dan persyaratan harga listrik untuk tetap berada di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) di beberapa wilayah utama membuat proyek-proyek ini kurang menarik secara ekonomi.  Melimpahnya cadangan batu bara dan status Indonesia sebagai pengekspor batu bara utama juga membuat pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan tidak terlalu mendesak dibandingkan dengan negara-negara yang bergantung pada impor batu bara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun