Fitur paylater kini menjadi primadona di berbagai platform e-commerce dan aplikasi keuangan digital. Fungsinya sederhana: beli sekarang, bayar nanti. Tapi di balik kemudahan itu, ada potensi ancaman yang besar terhadap kesehatan finansial---terutama bagi anak muda yang belum memiliki pengelolaan keuangan yang matang.
Data dari OJKÂ menunjukkan bahwa pengguna paylater dan pinjaman online (pinjol) paling banyak berasal dari kelompok usia 19--34 tahun. Pada pertengahan 2023, total pinjaman aktif dari kelompok ini mencapai Rp26,87 triliun.Â
Lebih mengkhawatirkan lagi, kredit macet di sektor pinjol justru paling banyak didominasi oleh kelompok usia muda ini, yaitu sekitar 63,36% hingga awal 2024. Ini menandakan bahwa utang paylater yang menumpuk bisa menjadi pintu masuk masalah keuangan yang serius.
Seorang teman saya yang bekerja di perusahaan pembiayaan menceritakan bahwa dalam sehari ia bisa menghubungi lebih dari 400 orang yang telat bayar cicilan.Â
Sebagian besar di antaranya adalah anak muda yang tidak menyadari konsekuensi panjang dari penggunaan fitur paylater secara impulsif.Â
Banyak dari mereka awalnya hanya ingin "coba-coba," tapi berakhir dengan utang yang tidak bisa mereka kendalikan.
Bahaya Gagal Bayar Utang Paylater terhadap Riwayat Kredit
Yang sering dilupakan dari utang paylater adalah efeknya terhadap riwayat kredit seseorang. Ketika tagihan paylater tidak dibayar tepat waktu, informasi tersebut akan tercatat di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik OJK.Â
Akibatnya, seseorang bisa dianggap memiliki catatan kredit buruk---hal ini bisa menyulitkan pengajuan pinjaman penting di masa depan seperti KPR atau kredit kendaraan.
Tidak sedikit kasus di mana pengajuan kredit ditolak hanya karena masalah tunggakan kecil dari layanan paylater. Ini membuktikan bahwa utang paylater bukan sekadar transaksi sepele, tapi bisa berdampak pada keputusan finansial jangka panjang.Â