Kita perlu mengingat petuah dari bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan yang tidak berkebudayaan adalah pendidikan dengan pondasi yang rapuh.
Memang banyak kalangan menyebut bahwa dipilihnya Nadiem cocok dengan budaya digital yang tengah menjadi budaya dan tren global, namun kita perlu pahami juga bahwa pengertian dan cakupan budaya tentu tidaklah sedangkal itu.
Kita memang perlu mengikuti tren dunia, tapi apalah artinya jika dengan begitu secara tega kita meninggalkan budaya sendiri. Inilah yang diingatkan H.A.R Tilaar agar mansia Indonesia jangan sampai menjadi bangsa pengekor.
Tentu peran pendidikanlah yang harus menjamin identitas kebangsaan tetap terjaga. Pendidikan harus mampu mengubah cara pandang masyarakat agar tidak hanya sekedar bisa mengklaim, namun juga bisa menjaga dan megembangkan budayanya.
Lebih jauh, peran budaya dalam pendidikan besar manfaatnya guna mengembangkan karakter. Kita perlu kembali melihat contoh gaya pendidikan Taman Siswa buatan Ki Hadjar yang mengintegrasikan kebudayaan dalam pendidikan sehingga para murid terdidik secara akal dan moral.
Selain mengenai integrasi budaya dalam pendidikan, tugas Nadiem juga perlu difokuskan ke soal upaya konservasi dan inovasi budaya daerah. Kita mesti sadar bahwa makin kesini budaya daerah makin terkikis habis karena banyak ditinggalkan dan dilupakan, mulai dari bahasa, tari, lagu, pekerjaan, bahkan karakter.
Tugas Nadiem memang berat, gebrakannya memang cukup banyak, namun ia perlu juga melihat esensi dari pendidikan itu sendiri yaitu kebudayaan. Saya teringat pula petuah dari budayawan Ajip Rosidi soal masa depan budaya.
Ajip mengatakan bahwa pendidikan yang meninggalkan kebudayaan hanya akan memproduksi manusia Indonesia yang pinter tapi tidak keblinger, manusia yang cerdas tapi tanpa identitas. Maka dalam usaha pembaruan pendidikan jangan lupakan budaya.