Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pada Sebuah Sangkar

31 Desember 2018   09:38 Diperbarui: 31 Desember 2018   10:38 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyendiri, atau mungkin berefleksi merupakan suatu pendekatan untuk mencari makna dan arti kehidupan. Evaluasi derap langkah dari setiap lika - liku kehidupan seyogyanya terus dilakukan selama jantung masih berdetak, darah masih mengalir, dan pikiran masih berfungsi. Mencari pemaknaan hidup menjadi penting, bukan sekedar melihat apa yang kurang dalam diri, tapi apa yang dapat raga ini sumbangkan bagi peradaban.

Jalan hidup tak selamanya tentram, dan lagi tak seharusnya melulu berjalan di jalan yang tentram. Ada kalanya hidup perlu melihat dan terjun pada hal - hal diluar ketentramanannya itu, mendongkrak, melatih, dan menempa diri dalam percaturan kehidupan yang serba absurd. Ilmu dan iman hendaknya menjadi panduan untuk guyub mencari makna dan pengalaman hidup di semua lini, di semua dimensi.

Di hadapan sebuah sangkar. Sepintas terlihat satu bentuk keindahan, satu bentuk alunan yang menyejukan. Derai keindahan bulu burung, corak warnanya ciamik, menyiratkan keagungan penciptanya. Tingkahnya yang tak mau diam, bukan terbang, ia meloncat dari tangkai yang disusun tidak teratur dalam sangkar berukuran sedang, menjajal setiap tempat yang didapatinya. Hingga pada satu waktu, mungkin karena lelah, diam sejenak, layaknya memasang kuda - kuda seraya menarik napas, lalu ia berdendang, menyebarkan alunan penuh kedamaian dan kesejukan.

Siulannya berhasil. Tepat di pojok atas sangkar, terdapat sebuah rumah burung. Ukurannya kecil, dengan lubang sekaligus pintu masuknya seukuran bola tenis. Kayunya terlihat masih kokoh, pun catnya yang menghiasinya tampak belum sama sekali pudar. Nampak seekor burung, kepalanya menohok dari belakang pintunya, menghirup seberkas udara kesegaran, lalu berjalan tegap penuh kepastian, dan tak lama ia membalas siulan entah temannya entah kekasihnya itu. Mereka saling berbalas kemerduan, terasa seperti kehangatan sepasang kekasih yang tengah berbincang, seolah terbebas dari beban pikiran, beban kehidupan.

Mereka memanglah hanya sebuah makhluk tanpa akal, sehingga mustahil memilki beban pikiran. Tapi justru dengan itulah mereka sangat minim berbuat kerusakan. Seketika terlintas dalam pikir, pun dengan realita yang ada, ironi, bahwa perusak yang sesungguhnya adalah mereka yang memiliki akal. Ya, dialah manusia.

Ia adalah aktor utama berbagai macam kerusakan yang kini melanda. Di pikiran mungkin terlintas bahwa dinosaurus semacam T-Rex dan Megalodon adalah makhluk yang keji lagi berbahaya. Namun sekeji apapun mereka menebas dan mencincang mangsa, apakah daya rusaknya merugikan seluruh alam semeseta yang dihuninya ?

Orwell dalam Animal Farm bahkan berani mengatakan bahwa manusia adalah satu - satunya makhluk yang mengkonsumsi tanpa mengasilkan. Sapi memakan rumput jadi susu, ayam memakan cacing jadi telur, kobra memakan tikus pun bahkan racunnya bisa menjadi obat yang mujarab. Lantas manusia, mereka memakan sapi, ayam, telur, dan susu mampu menghasilkan apa ?

Satu hal yang membedakan manusia dan hewan adalah akal. Maka seharusnya hasil dari olah akalnya lah yang harusnya menjadi output manusia. Namun lagi, output yang dihasilkan manusia terkadang digunakan untuk berbagai macam tindakan tercela, untuk perang, untuk menghina, membunuh, bahkan untuk "menyangkar" atau memperbudak sesamanya.

Burung dalam sangkar tadi boleh jadi terkungkung secara ragawi dan emosi, tapi beruntung, ia tak terpenjara oleh akal, mereka merdeka. Tapi manusia, mungkin mereka tidak terpenjara raganya dalam sangkar, emosinya bahkan dapat berkeliaran bebas di alam terbuka. Namun hal yang menjemukan adalah fakta bahwa akal manusia terkadang atau bahkan selalu "tersangkar" dalam kemerdekaannya. Ya, secara raga merdeka, secara akal belum tentu.

Memperkaya ilmu dan iman adalah jalan menuju kemerdekaan yang seutuhnya. Jelas untuk mencapai hal itu diperlukan kemauan melalui fase perjalanan hidup yang komprehensif.  Mau dikritik, mau diskusi, mau berubah, dan mau belajar. Dan, sekali -  kali bolehlah bertandang ke sangkar burung seraya berkata "Apa benar diri ini tidak tersangkar ?" Berefleksilah!   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun