Mohon tunggu...
Rahma Hanifa
Rahma Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Rahma Hanifa, perempuan yang mulai menghirup udara di dunia pada bulan Juni 2002 Jatuh cinta dengan musik, aroma kopi, petrichor dan puisi Menulis adalah ekspresi dan jiwa, bukan sekedar narasi IG: @itsme_haan Salam Hangat Haan~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pentigraf: "Rinjani" (Gadis Desa yang Bangkit dari Keterpurukan)

19 Mei 2022   16:23 Diperbarui: 19 Mei 2022   16:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rinjani 

“Rinjani, sini nak”, teriak nenekku yang sedang meniup tungku untuk memasak nasi pagi ini. “Baik nek, Rinjani datang”, jawabku sambil berjalan menuju dapur reot dari bambu yang hampir roboh dimakan usia. “Uhuk-uhuk”, suara nenek saat aku hampir sampai membuatku sekali lagi tersadar dan tertampar realita bahwa aku, Rinjani Laksmi seorang gadis desa yang punya impian besar untuk bisa merasakan bangku sekolah tinggi namun takdir membuatnya harus duduk belajar di rumah dengan buku-buku yang ia pinjam dari tetangga dan sesekali ia beli dari pasar loak.

Rinjani Laksmi, cucu kakek nenek yang sudah renta dan sakit-sakitan sehingga aku akan berusaha untuk membaktikan diriku pada mereka sekuat yang aku mampu. Aku Rinjani Laksmi, seorang gadis yang bukan seperti kalian idam-idamkan, memakai outfit lalu nongkrong di kafe sembari meminum kopi yang harganya selangit. Aku hanyalah gadis biasa yang ingin sekali mengenyam pendidikan tinggi sehingga bisa membuat kakek nenekku bangga karena cucunya tak hanya seorang lulusan SMA. Aku hanyalah seorang gadis yang tiap pagi di wajahnya pekat dengan jelaga karena meniup tungku untuk memasak dan merebus air untuk membuat jahe hangat kesukaan kakek.

Aku yang harus bekerja di kebun untuk hidup yang pahitnya sudah sampai ubun-ubun. “Tolong antarkan ini untuk kakek”, ucap nenek. “Loh, nek biasanya kan Rinjani yang buatkan, ini mana jahenya nek”, tanyaku sambil meneliti isi gelas yang kubawa itu. “Sudah antarkan saja, jahe dari pot depan rumah sudah habis, uang yang nenek punya hanya cukup untuk membeli beras hari ini”, ucap nenek. “Ini kek minumannya, diminum pas masih anget – anget yaa…”, ujarku lembut kepada kakek yang beberapa bulan ini hanya bisa berbaring di atas dipan kayu tanpa kasur serta satu bantal usang dan hanya diselimuti sarung. Aku tidak bisa membayangkan betapa pegal sekali tubuhnya tidur tanpa ada kasur dibawahnya. Tapi apa boleh buat, nenek selalu bersikeras melarangku memakai uangku, ia berkata akan sangat marah sekali padaku jika uang yang kuterima dari upah bekerja  di kebun digunakan untuk membeli barang-barang untuk kakek dan nenek. Padahal, aku pun sangat ingin membantu mereka dan sangat ikhlas bila membelikan kasur seharga satu bulan gajiku untuk kakek.

“Baiklah kalau begitu kek, Rinjani ke dapur dulu membantu nenek”, ucapku. “Tunggu nak, ada yang ingin kakek bicarakan”, ujar kakek yang entah kenapa membuatku bertanya-tanya karena tak biasanya kakek ingin berbicara serius denganku. “i-iya kek, ada apa kek”, jawabku dengan nada bingung. Tiba-tiba kakek menunjuk laci dekat dipannya dan menyuruhku mengambil sesuatu di laci itu. “Tapi kau jangan pernah berpikir ayahmu adalah seorang pembunuh, justru dia adalah kebanggaan kakek, itu hanyalah kecelakaan dan takdir pahit karena menjadi anak kakek ini, justru kakek yang salah disini karena tak berhasil melarang ayahmu waktu itu”, itulah penggalan akhir cerita kakek dengan nada sendu. “Kek jangan bilang begitu, kakek tidak salah”, ujarku. “Tidak, Rinjani ini memang kenyataanya. Tahun depan adalah waktu dimana ayahmu bebas dari penjara. Ya, ayahmu memang masih hidup, ia menyuruh kakek dan nenek menutup rapat hal ini darimu hingga kau dewasa agar kau tak merasa malu punya bapak narapidana”, lanjut kakek. Aku yang tak kuat langsung memeluk kakek sambil menangis.

Esok harinya betapa terkejutnya aku karena terbangun kala mendengar isak tangis nenek, hatiku seketika hancur melihat nenek bersimpuh di samping dipan kakek sambil memegang tangan kakek yang hanya diam saja. Dengan langkah berat dan hati yang berdegup kencang kudekati nenek. “n-nekk…”, ucapanku membuat nenek menengok diriku yang linglung melihat semua ini. “Rinjani, k-kaa-kakek…sudah pergi meninggalkan kita”. Seketika air mata yang kutahan lolos begitu saja tanpa aba, aku tidak percaya semua terjadi begitu cepat. Baru saja kemarin kakek mengajakku bicara tapi sekarang?. Ah, rasanya aku tak kuat dengan semua yang terjadi, aku ingin marah namun tak bisa.

Aku lalu menengok nenek yang tiba-tiba terhenti dari tangisnya. Nenek tertidur, aku tak bisa memproses ini, nenek tertidur setelah menangisi kepergian kakek. Akupun dengan kalut yang belum selesai membangunkan nenek. “N-nekk.., nenek, nenekk…”, ucapku dengan gemetar hebat karena wajah dingin dingin sekali dan pucat, saat ku sentuh nadinya aku serasa disambar petir di pagi karena denyut nadi nenek sudah tidak terasa, badanya kaku, hembusan nafas dari hidungnya pun tak lagi terasa di tanganku. Aku menangis sejadi-jadinya di depan nenek dan kakekku yang ternyata tak bisa hidup tanpa satu sama lain, nenek menyusul kakek tepat di depanku dengan tangan yang masih bertaut pada tangan kakek. 

Setelah kepergian dua orang paling berharga di hidupku, aku merasa tak berdaya dan rasanya ingin menangis saja tiap hari walaupun sebelumnya mulutku sudah berjanji di pusara kakek dan nenek untuk tegar dan bangkit. Ya, nyatanya bangkit dari keterpurukan adalah hal paling sulit yang ingin kulakukan. Suatu hari setelah amat lelah dengan semua ini, aku Rinjani Laksmi memutuskan untuk pergi dari desa ini, pergi dari kenangan manis namun juga menyayatku. Aku ingin memulai kehidupan baru di kota. Menunggu hari-hari dimana Ayah akan terbebas dari belenggu dinginnya besi penjara sambil mencari kerja di kota untuk melanjutkan kuliah, berbekal uang tabunganku aku berangkat pergi. Hari ini aku bersiap-bersiap pergi ke kota, setelah kurasa cukup aku melangkah keluar dari rumah ini dengan langkan berat penuh kenangan yang menjerat. Aku mengunci pintu rumah sederhana ini, kulangkahkan kakiku lagi. Ah, tak kuat aku menengok lagi.

Rumah ini adalah saksi perjalanan Rinjani Laksmi bersama kakek dan nenek, perjalanan yang pahit namun terasa manis karena kasih sayang mereka yang amat melimpah. Setelah mengingat kilas balik yang ku pikir akan terus mengusik aku benar-benar pergi, meninggalkan segala bagian hidup yang ada di desa ini. Akan kupastikan setelah ini Rinjani Laksmi akan bangkit dan melangkah lagi, menyusuri mimpi, menatap hangat langit di pagi hari, menanti temu dengan ayah yang selalu ku rindu. Dan merangkai bahagia bersama waktu.


                                         -TAMAT-


Oke temen-temen sekian dulu yaa pentigraf nya...:)Btw ini adalah tugas dari Mata Kuliah Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi yang memang bertemakan kebangkitan seseorang. Aku masih pemula untuk menulis sebuah pentigraf kayak gini, jadi maaf ya kalau ada kata-kata yang kurang pas. Saran yang bersifat membangun bisa banget teman-teman tulis di kolom komentar. Habis ini mungkin  aku bakal upload puisi-puisiku disini juga. Stay tune yaa..Terimakasih:)

Yang mau bincang soal sastra atau sharing dunia perkuliahan boleh banget, langsung aja meluncur ke Instagram ku @itsme.haan


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun