Dalam beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting menjadi topik yang ramai dibicarakan di dunia kerja, termasuk di Indonesia. Istilah ini mulai dikenal luas pada tahun 2022 melalui media sosial seperti TikTok, menggambarkan karyawan yang tetap menjalankan pekerjaan sesuai tanggung jawab minimal tanpa memberikan usaha tambahan. Mereka tidak benar-benar berhenti bekerja, tetapi secara emosional dan psikologis mulai menarik diri dari keterlibatan aktif di tempat kerja. Fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya kerja berlebihan (hustle culture) yang menuntut produktivitas tanpa henti. Di Indonesia, quiet quitting mencerminkan pergeseran pandangan pekerja terhadap keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan makna kerja.
Fenomena ini kini menjadi salah satu isu penting dalam dunia kerja modern. Quiet quitting menggambarkan kondisi di mana karyawan tetap menjalankan tugas pokok sesuai deskripsi kerja, namun tidak lagi terlibat secara emosional, tidak mengambil inisiatif tambahan, dan kurang berpartisipasi aktif di lingkungan kerja (Gallup, 2022). Mereka masih hadir secara fisik, tetapi secara psikologis sudah "mengundurkan diri" dari semangat kolektif organisasi. Banyak pihak menilai perilaku ini sebagai bentuk kemalasan atau kurangnya loyalitas, padahal sebenarnya merupakan tanda bahwa karyawan merasa tidak dihargai dan kehilangan makna dalam pekerjaannya.
Dari sudut pandang psikologi industri dan organisasi, quiet quitting bukan sekadar masalah motivasi, tetapi juga berkaitan erat dengan rendahnya keterlibatan karyawan (employee engagement) dan lemahnya rasa aman psikologis (psychological safety) di tempat kerja (Kahn, 1990; Edmondson, 1999). Ketika organisasi tidak menyediakan ruang untuk komunikasi terbuka atau justru menimbulkan rasa takut terhadap kritik, karyawan akan memilih diam daripada menyuarakan pendapat. Situasi ini menandakan ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan dukungan emosional yang diberikan perusahaan.
Apabila kondisi ini dibiarkan, dampaknya dapat merugikan organisasi dalam jangka panjang. Survei Gallup (2022) menunjukkan bahwa sekitar 50% tenaga kerja di seluruh dunia termasuk dalam kategori quiet quitter, yang berakibat pada menurunnya produktivitas, inovasi, dan meningkatnya niat untuk keluar dari pekerjaan. Budaya kerja yang tidak inklusif dan kurang empatik juga dapat menghambat munculnya ide-ide baru serta mengurangi rasa kepemilikan terhadap organisasi (Robinson et al., 2004). Oleh karena itu, perusahaan perlu merespons fenomena ini dengan pendekatan yang empatik, mendengarkan aspirasi karyawan, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis.
Dampak quiet quitting terhadap organisasi sangat besar. Produktivitas dan kreativitas menurun karena karyawan bekerja sekadarnya, sementara keinginan untuk berpindah kerja meningkat akibat menurunnya rasa memiliki (Robinson et al., 2004). Di sisi lain, kualitas kerja tim juga terpengaruh karena berkurangnya kepercayaan dan kolaborasi antaranggota. Bagi individu, fenomena ini bisa menimbulkan stres berkepanjangan, hilangnya motivasi intrinsik, dan terganggunya kesejahteraan mental. Dalam jangka panjang, budaya kerja yang tidak peduli terhadap kesejahteraan karyawan dapat memicu siklus negatif yang sulit dipulihkan.
Untuk mengatasinya, perusahaan di Indonesia perlu meningkatkan kesejahteraan karyawan melalui program kesehatan mental, fleksibilitas waktu kerja, serta penghargaan yang adil atas kinerja. Pelatihan dan kesempatan pengembangan diri juga penting untuk membangkitkan kembali motivasi kerja dan mencegah penurunan keterlibatan. Lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan hidup dan komunikasi terbuka dapat menjadi kunci dalam menekan risiko quiet quitting.
Selain faktor kelelahan, penyebab lain munculnya quiet quitting di Indonesia adalah kurangnya apresiasi, kepemimpinan yang tidak mendukung, serta terbatasnya peluang karier dan pelatihan. Dalam sistem kerja yang masih bersifat hierarkis (top-down), banyak pekerja muda merasa suara mereka tidak didengar. Berdasarkan survei Deloitte (2023), lebih dari 60% milenial di Indonesia tidak melihat masa depan jangka panjang di tempat kerja mereka karena minimnya kesempatan berkembang. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai di kalangan generasi muda yang kini lebih menekankan keseimbangan hidup dan kesehatan mental dibanding sekadar gaji atau jabatan.
Dampak quiet quitting di Indonesia dirasakan pada dua sisi. Bagi individu, sikap ini dapat membantu menjaga kesehatan mental dan menghindari stres, tetapi dalam jangka panjang bisa menghambat pertumbuhan karier. Bagi organisasi, fenomena ini menurunkan produktivitas, kreativitas, serta semangat tim, bahkan bisa menyebar ke rekan kerja lain. Laporan McKinsey (2024) menunjukkan bahwa rendahnya keterlibatan karyawan dapat menyebabkan penurunan produktivitas hingga 18--30% di berbagai sektor di Asia.
Melalui komunikasi terbuka, pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada empati, dan pembangunan kepercayaan antara pimpinan dan karyawan, organisasi dapat memperkuat keterlibatan kerja. Ketika pekerja merasa dihargai dan didengarkan, produktivitas serta kesejahteraan mereka akan meningkat, memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Secara lebih luas, quiet quitting di Indonesia mencerminkan perubahan paradigma dunia kerja modern. Generasi muda tidak ingin hidupnya hanya berputar di sekitar pekerjaan, tetapi juga menginginkan waktu untuk keluarga, diri sendiri, dan kehidupan sosial. Oleh karena itu, fenomena ini bukan semata ancaman bagi produktivitas, melainkan sinyal agar perusahaan beradaptasi dengan nilai-nilai baru di tempat kerja. Organisasi yang mampu menyesuaikan diri akan lebih mudah mempertahankan talenta, meningkatkan kepuasan kerja, serta menciptakan lingkungan yang sehat dan inklusif.
Secara keseluruhan, quiet quitting merupakan refleksi dari perubahan besar dalam cara pandang terhadap pekerjaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pekerja masa kini tidak hanya mencari penghasilan, tetapi juga keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan makna dalam bekerja. Bagi perusahaan, ini menjadi peringatan penting untuk berbenah menumbuhkan kepemimpinan yang empatik, budaya kerja yang sehat, serta sistem penghargaan yang manusiawi agar dapat menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan berkelanjutan.