Mohon tunggu...
Rahmaa zulvaaa
Rahmaa zulvaaa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Kiai Ageng

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perkembangan Emosi dan Kesehatan Mental Mahasiswa di Era Digital Learning

10 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 10 Oktober 2025   12:49 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jujur, aku masih ingat banget masa-masa kuliah online waktu awal masuk kuliah. Awalnya seneng karena bisa kuliah sambil rebahan, tapi lama-lama kok malah ngerasa capek secara emosional. Bangun tidur langsung buka laptop, dengerin dosen ngomong dari layar, terus lanjut ngerjain tugas sampai malam. Rasanya kayak hidup di loop yang nggak ada ujungnya.

Sebagai mahasiswa psikologi pendidikan, aku mulai nyadar kalau yang aku alami ini bukan hal sepele. Dalam teori psikologi perkembangan, masa mahasiswa termasuk fase early adulthood, di mana emosi dan identitas diri lagi berkembang pesat. Nah, di fase ini, kita dituntut buat menyesuaikan diri termasuk dengan sistem belajar digital yang tiba-tiba jadi bagian hidup kita.

Masalahnya, digital learning nggak cuma soal teknologi. Ada faktor psikologis yang ikut main di sana. Dari Jurnal Psikologi Pendidikan Indonesia, mahasiswa di era pembelajaran daring cenderung mengalami peningkatan stres akademik, kesepian, dan kelelahan mental karena interaksi sosial yang terbatas dan tuntutan akademik yang tinggi.

Aku sendiri ngerasa banget hal itu. Kadang pas kelas online, aku cuma nyalain kamera tanpa bener-bener fokus. Aku hadir secara fisik  tapi nggak secara mental. Rasa jenuh, cemas, bahkan overthinking mulai datang pelan-pelan. Apalagi kalau liat teman yang kayaknya "baik-baik aja" padahal kita sendiri lagi berantakan di dalam.

Tapi setelah belajar tentang regulasi emosi, aku mulai paham bahwa emosi itu bukan musuh. Emosi cuma butuh diakui, bukan dihindari. Aku mulai coba menulis jurnal kecil setiap malam, nulis apa yang aku rasain hari itu. Kadang marah, kadang sedih, tapi setelah ditulis rasanya jauh lebih lega.

Selain itu, konsep kesehatan mental positif juga ngajarin aku buat nggak perfeksionis dalam belajar. Kita manusia, bukan robot. Ada kalanya otak butuh istirahat, hati butuh tenang. Jadi sekarang, kalau udah terlalu capek, aku izinin diri buat rehat sebentar tanpa rasa bersalah.

Yang paling penting, aku belajar bahwa era digital nggak harus jadi musuh bagi kesehatan mental. Justru kalau kita bisa ngatur waktu, jaga interaksi sosial, dan peka sama emosi sendiri, teknologi bisa jadi alat bantu, bukan sumber stres.

Sekarang aku mulai belajar untuk balance. Kuliah online boleh, tapi tetap harus ada "offline moment" buat diri sendiri entah itu jalan sore, journaling, atau sekadar ngobrol sama teman tanpa ngomongin tugas.

Karena di akhir hari, kesehatan mental itu bukan tentang seberapa kuat kita bertahan di depan layar, tapi seberapa jujur kita terhadap perasaan sendiri .

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun