Di tengah upaya global mengatasi krisis iklim, Uni Eropa meluncurkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), sebuah kebijakan yang mengatur tarif karbon pada produk impor dari negara-negara yang tidak memenuhi standar emisi yang ketat. Diluncurkan pada 2023 dengan proyeksi penuh pada 2026, kebijakan ini diklaim bertujuan untuk mencegah "carbon leakage" dan memastikan kesetaraan dalam perdagangan internasional. Namun, dibalik niat untuk keberlanjutan tersebut, muncul pertanyaan penting "apakah CBAM benar-benar mencerminkan keadilan iklim, atau justru menjadi alat proteksionisme hijau yang merugikan negara-negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi politik global?"
Artikel ini akan melihat CBAM melalui lensa ekonomi politik internasional, menggali bagaimana kebijakan ini memperburuk ketimpangan perdagangan global dan memperparah ketidakadilan struktural yang sudah ada. Dalam kajian ini, penting untuk memahami bahwa kebijakan ini lebih dari sekedar soal emisi karbon, ini adalah pertempuran kekuasaan dalam sistem perdagangan global yang tidak setara.
CBAM dan Hegemoni Ekonomi dalam Perdagangan Global
CBAM adalah instrumen tarif yang dikenakan pada produk impor dari negara-negara yang tidak memenuhi standar emisi karbon yang diterapkan oleh Uni Eropa. Pada awalnya, kebijakan ini dirancang untuk mencegah "carbon leakage," yakni peralihan produksi yang berpolusi ke negara-negara dengan regulasi yang lebih longgar. Namun, di balik tujuan yang tampak mulia ini, kebijakan ini menyimpan dinamika kekuasaan yang mencolok.
Uni Eropa, sebagai negara maju yang memiliki akses lebih besar terhadap teknologi bersih, menetapkan standar emisi yang sulit dipenuhi oleh banyak negara berkembang. Negara-negara seperti Indonesia atau Brasil yang bergantung pada ekspor produk berbasis karbon (seperti baja, semen, atau pupuk) kini dipaksa menghadapi tantangan berat. Dengan tarif tambahan yang dikenakan pada produk mereka, kebijakan ini memperburuk ketimpangan dalam perdagangan internasional. Negara-negara maju memaksakan standar yang tidak bisa dipenuhi oleh negara-negara berkembang yang minim akses terhadap teknologi bersih, sehingga menciptakan hambatan baru dalam perdagangan internasional.
Dalam kerangka ekonomi politik internasional, CBAM berfungsi sebagai alat proteksionisme yang membatasi daya saing negara-negara berkembang di pasar global, dan memperburuk ketidaksetaraan dalam hubungan perdagangan antarnegara.
Globalisasi Asimetris dan Ketimpangan Perdagangan Internasional
Globalisasi seharusnya membuka peluang bagi semua negara untuk berkembang. Namun, kenyataannya, globalisasi justru menciptakan interdependensi yang timpang. Negara-negara berkembang seringkali terperangkap dalam peran sebagai pemasok bahan mentah dan tenaga kerja murah, sementara negara maju menguasai teknologi, modal, dan pengaturan standar perdagangan.
CBAM memperburuk ketimpangan ini. Negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor produk berbasis karbon menghadapi kendala besar dalam memenuhi standar emisi yang ditetapkan Uni Eropa. Kebijakan ini secara tidak langsung menciptakan penghalang perdagangan yang lebih besar, membebani negara-negara berkembang yang membutuhkan dukungan teknologi dan investasi untuk beralih ke industri rendah karbon. Negara-negara ini tidak hanya menghadapi tantangan dalam pemenuhan regulasi emisi, tetapi juga harus bersaing dengan negara-negara maju yang sudah memiliki infrastruktur dan teknologi lebih maju.
Dengan demikian, CBAM dapat dipandang sebagai bentuk baru dari kolonialisme hijau, di mana negara-negara maju menggunakan standar keberlanjutan yang sulit dipenuhi untuk mempertahankan dominasi mereka dalam perdagangan internasional.
MNCs, Investasi, dan Risiko Negara dalam Era CBAM