Mohon tunggu...
Tri Rahayu ( Mbak Lily)
Tri Rahayu ( Mbak Lily) Mohon Tunggu... Freelancer - Frelance writer

Penulis lepas, konten creator

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Toleransi: Merayakan Keberagaman di Bulan Ramadhan ini

31 Maret 2024   21:59 Diperbarui: 31 Maret 2024   22:03 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

      Bulan Ramadhan adalah bulan penuh dengan barokah. Umat Islam di seluruh dunia, menjalankan ibadah puasa selama satu bulan ini. Tak pelak umat Islam di dunia ini tersebar di berbagai benua dan tentu saja berbagai negara. Mereka menjalankan ibadah puasa dengan waktu tertentu. Negara satu dengan lainnya tentu saja berbeda. 


      Di Indonesia sendiri memiliki tiga pembagian waktu, WIB, WIT, dan WITA.
Sedari perbedaan waktu tersebut tentu saja kita memiliki perbedaan waktu dalam memulai ibadah puasa juga waktu akhir puasa atau waktu berbuka puasa.


      Untuk menentukan awal Ramadhan ini pun kita di hadapkan pada perbedaan. Baik dengan menggunakan metode Hisab atau Rukyah, keduanya memiliki dasar tersendiri. Sejak lama hal ini  telah terjadi. Menurut penulis, hal ini bukan lagi hal yang perlu diperdebatkan lagi. 

      Pemerintah dan salah satu ormas di negara ini, katakanlah Muhammadiyah memiliki penentuan tersendiri dalam menentukan awal puasa,kalender hijriyah dan juga tanggal penting lainnya berkaitan dengan hari besar agama.


      Dengan beragam perbedaan yang ada dalam pelaksanaan praktek ibadah keagamaan, tentu saja kita sudah seyogyanya juga memiliki toleransi              ( tenggang rasa), tepo sliro dalam bahasa   Jawa.



       Selain masalah praktek ibadah, ada begitu banyak cerita yang menarik untuk kita cermati tentang toleransi dan keberagaman yang ada di masyarakat. 

      Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, hal ini bisa penulis asumsikan kalau sebagai besar masyarakat yang menganut agama Islam juga menjalankan ibadah puasa. 

     Di dalam masyarakat sendiri terdiri dari beberapa strata sosial. Pembagian masyarakat berdasarkan profesinya atau lapisan pendidikan atau klasifikasi lainnya pada akhirnya akan mengerucut pada perkara pekerjaan dan masalah finansial. 

     Bagi sebagian masyarakat yang memiliki profesi wiraswasta atau pekerjaan kantoran, sangatlah memungkinkan untuk tetap menjalankan ibadah puasa dengan baik. 

     Pekerjaan kantoran memiliki jam kerja  kantor, sebaliknya para wiraswastawan memiliki jam kerja bebas, tak terikat. 


       Bagaimana dengan beberapa pekerja yang tetap bekerja di pabrik, beberapa kuli atau pekerja berat, katakanlah tukang batu, tukang gendong di pasar?
Di saat hari-hari biasa saja pekerjaan mereka sudah berat. Jika mereka tidak berpuasa lantas pergi ke warung makan yang ada di pasar atau di tempat lainnya. Adanya himbauan agar para pedagang menutup lapak di jam pagi agaknya merepotkan para penguasa rejeki tersebut. 

       Belakang muncul himbauan kalau rumah makan boleh beroperasi, di jam normal. 

     Selain kepentingan saudara-saudara kita yang mengais rezeki dengan tenaga ekstra membanting tulang seperti kuli panggul dan lainnya tersebut. Kita juga perlu berpikir, kenyataan kita hidup berdampingan dengan umat agama lain. 

      Tentu saja di kehidupan keseharian mereka juga beraktivitas seperti biasa, memasak, butuh sarapan sebelum ke kantor dan sebagainya. 

      Alangkah bijaknya, seandainya himbauan warung makan boleh beroperasi di jam normal tidak dicabut kedepannya. Namun, dari segi etika mungkin perlu di beri sekat. Sehingga pemandangan pengunjung yang sedang menikmati makanan juga tidak serta Merta bisa disaksikan banyak orang. 

     Bukankah dengan hal demikian juga mereka bertindak toleran kepada orang yang sedang berpuasa. 

     Menjelang lebaran Idul Fitri inipun kita juga masih akan menjumpai masalah penentuan awal 1 Syawal. Baik pemerintah maupun Muhammadiyah di beberapa tempat di seluruh Indonesia, keduanya akan menyelenggarakan Sholat Id dengan persiapan matang. 

     Hemat penulis, alangkah baiknya jika pemerintah desa atau pamong membantu pelaksanaan ibadah sholat Id baik versi Pemerintah maupun Muhammadiyah. Tentu saja praktek kegiatan ini tidak mudah karena melibatkan banyak pihak. 

      Pelaksanaan ibadah bagi pemeluk agama di Indonesia sendiri telah dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, masyarakat memiliki hak untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing individu. 

      Cerita lain riil di masyarakat adalah masalah ucapan selamat hari Raya idul Fitri dari teman atau kolega non muslim. Lagi-lagi, menurut asumsi penulis. Hal itu bukan ramah yang perlu diperdebatkan lagi. 

     Indonesia adalah negara yang majemuk, keragaman akan memberikan dampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya kita memandang kedepan dalam kehidupan beragama. Bagaimana kehidupan bangsa Indonesia yang beragam ini bisa aman dan damai. 

     Khususnya bagi umat muslim, keragaman adakah sunatullah. Semoga kita bisa lebih memupuk toleransi, tepo sliro dan tenggang rasa di dalam masyarakat. 

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun