Bagi sebagian orang, bela negara identik dengan seragam militer, latihan fisik, dan keringat di medan perang. Namun, bagi para emak-emak---sebutan akrab bagi para ibu rumah tangga di Indonesia-bela negara adalah sesuatu yang sunyi, namun berdampak luas. Mereka adalah opinion leader dalam lingkup kecil yang paling menentukan masa depan bangsa: keluarga.
Tonggak Tak Kasat Mata
Emak-emak tidak turun ke medan perang. Tapi mereka adalah medan pertama dan utama tempat sikap bela negara mulai terbentuk. Mereka melahirkan, menyusui, mengasuh, dan-tanpa disadari-membentuk kesadaran kebangsaan anak sejak usia dini.
Dr. Yudi Latif, cendekiawan dan tokoh pendidikan karakter, dalam sebuah seminar bela negara menyatakan, "Negara tidak hanya dibela dengan senjata, tetapi juga dengan karakter dan ketahanan moral yang ditanamkan sejak dini oleh ibu dalam keluarga." Menurutnya, ibu adalah agen perubahan yang membentuk habitual patriotism, atau patriotisme yang menjadi kebiasaan.
Dalam teori social learning (pembelajaran sosial) oleh Albert Bandura, anak belajar melalui observasi dan imitasi, terutama dari figur terdekat-yakni ibu. Artinya, ketika seorang emak menunjukkan disiplin, rasa tanggung jawab, dan cinta tanah air, anak akan merekam itu sebagai bagian dari dirinya. Di sinilah bela negara bermula: dalam dekapan seorang ibu yang sadar akan peran strategisnya.
Spirit Ibu, Spirit Bangsa
Negara seperti Finlandia dan Jepang telah lama menyadari bahwa pembangunan karakter anak adalah investasi pertahanan jangka panjang. Bahkan, program parenting dan penguatan kapasitas ibu di dua negara itu masuk dalam kebijakan nasional. Mereka tahu, perang masa depan bukan sekadar adu kekuatan militer, tapi perang mental dan moral.
Di Indonesia, pendekatan ini mulai disadari. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menekankan pentingnya pendidikan bela negara berbasis keluarga. Deputi bidang Pendidikan dan Pelatihan BPIP, Prof. Hariyono, pernah menyebut bahwa "ibu adalah pelatih pertama dan utama nilai Pancasila bagi anak-anaknya."
Bela negara bukan soal mobilisasi besar-besaran. Ia dimulai di meja makan, di saat emak mengajarkan kejujuran, gotong royong, dan empati. Di saat emak mematikan ponsel saat berkendara, anak belajar disiplin aturan. Ketika emak memilih produk lokal, anak paham tentang kedaulatan ekonomi.
Emak-Emak: Agen Transformasi