"Ketahanan pangan bukan sekadar urusan sawah dan ladang. Ini termasuk soal sistem, mata-mata, dan strategi. Jika terjadi perang, yang pertama dikalahkan adalah logistik."
Subuh di Washington, satu dekade lalu. Di sebuah ruang rapat tertutup, analis CIA memetakan data curah hujan dari Ethiopia, statistik produksi jagung dari Brasil, dan harga gandum dari Rusia. Bukan tanpa alasan. Laporan intelijen menunjukkan kemungkinan lonjakan harga pangan global akibat kekeringan ekstrem di kawasan Timur Tengah. Di balik tembok kedap suara itu, Amerika Serikat mengaktifkan salah satu sistem paling sunyi dalam jaringan keamanannya: Food Intelligence.
Ya, dunia diam-diam sudah menempatkan intelijen pangan sebagai bagian dari sistem keamanan nasional. Indonesia, negara agraris yang pernah menyebut swasembada sebagai puncak prestasi, tampaknya belum menjadikan pangan sebagai medan operasi intelijen strategis secara prioritas meskipun eksis. Padahal, gejalanya sudah tampak: harga beras bisa melonjak karena cuaca buruk di Myanmar, atau logistik kedelai mandek karena kapal tersangkut di Laut Merah.
Apa itu Intelijen Pangan?
Intelijen pangan adalah kerja senyap yang memetakan, menganalisis, dan mengantisipasi ancaman-ancaman sistemik terhadap ketahanan pangan, baik dari sisi produksi, distribusi, hingga geopolitik.
Dalam pendekatan yang lebih komprehensif, intelijen pangan tak hanya bicara soal gudang beras dan pupuk subsidi. Ini juga soal: